Tanggal 28 Maret 2023 kemarin, pengumuman hasil Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (selanjutnya oleh penulis cukup ditulis SNBP), terhadap murid-murid kelas XII yang masuk nominasi terpilih dari seluruh sekolah se Indonesia. Ada beberapa sekolah yang mendapatkan kehormatan untuk memasukkan 40%, 25% atau 5% tergantung dengan tingkatan atau akreditasi sekolah masing-masing untuk mengikuti seleksi ini. Beberapa sekolah sudah mengumumkan hasil akumulasi masing-masing murid-muridnya yan lolos seleksi ini dan menjadikan hasil tersebut bagi branding sekolah, bagi yang mendapatkan jumlah lebih banyak dibanding sekolah yang tidak atau kurang banyak muridnya yang diterima Seleksi SNBP tersebut. Sebagian menganggap bahwa perolehan ini menjadi ukuran keberhasilan sebuah sekolah dalam mendidik murid-muridnya selama tiga tahun belajar. Celakanya lagi otoritas diatasnya juga sekali tiga uang, meminta data mentah dengan menghitung jumlah yang diterima tersebut, dan menjadikan hasil perolehan akumulasi sekolah-sekolah yang ada diwilayah kewenangannya menjadi tolok ukur keberhasilan kepemimpinannya.
Tidak keliru atau boleh-boleh saja hal tersebut menjadi indicator dari sebuah keberhasilan program atau kepemimpinan. Namun demikian, SNBP belumlah layak dianggap sebagai bentuk keberhasilan dari sebuah proses Pendidikan dan apalagi dikooptasi menjadi sebuah keberhasilan program atau kepemimpinan. Bagi penulis, itu perlu dimasukkan dulu sebagai indicator dan sasaran antara, atau bahkan sebagai bahas untuk perumusan program kegiatan atau kepemimpinan. Kenapa bisa dianggap begitu, taruhlah dari data akumulatif tersebut, bisa digali lebih dalam, misalnya :
- Dari jumlah yang diterima tersebut, populasi terbesar diterima di Perguruan tinggi mana, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat atau bahkan diluar jawa. Dengan begitu, dapat dipotret dan dipetakan, dalam sebuah Kota/Kabupaten berapa jumlah angkatan muda yang diterima di suatu PTN dapat dibandingkan, dari jalur prestasi.
- Selanjutnya bisa saja digali lebih dalam, masing-masing dari PTN tersebut, berapa murid yang memiliki kandidat memperoleh Bidikmisi (KIPK), atau beasiswa full Pendidikan dari pemerintah pusat. Dibandingkan populasinya antara yang mendapat kandidat beasiswa tersebut dengan yang regular. Ini juga penting sebagai langkah lanjutan atau dimasa mendatang, agar lebih banyak lagi Angkatan muda yang mendapatkan beasiswa studi di perguruan tinggi serta membantu pendampingan para Angkatan muda tersebut dalam memperiolah beasiswa tersebut dapat diraih.
- Dari catatan-catatan tersebut dapat juga, diperoleh peta sebaran minat belajar dan minat studi lanjut. Misalnya SMA tertentu paling banyak diterima di kependidikan, yang lainnya lebih banyak di bidang teknik, di sekolah lainnya banyak di bidang medis, disekolah lainnya lagi lebih banyak di bidang seni. Dengan pemetaan seperti ini. Â Akan terbaca, 5 tahun mendatang kota/kabupaten tersebut akan memiliki Angkatan kerja paling banyak dibidang apa, sehingga pemerintah daerah dapat mempersiapkan diri untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi para Angkatan muda tersebut.
- Dari catatan-catatan laporan tersebut juga dapat diketahui, beberapa sekolah yang tidak berminat studi lanjut , lebih memilih bekerja misalnya. Â Hal ini menjadi bahan kebijakan pemerintah setempat untuk penyediaan program penguatan siap kerja dengan Lembaga BLK misalnya, atau Lembaga-lembaga kursus, dan bahkan PCTKI magang jepang, magang Taiwan, dan lain sebagainya.Â
- Data tersebut dapat juga digunakan sebagai modal pendorong Kerjasama dengan perguruan tinggi, misalnya dengan PTN Â yang belum banyak menerima murid-murid dari kota/kabupaten dimaksud. Sehingga mungkin bisa mendorong dibukanya PSDKU (Program Studi Luar Kampus Utama) di kota/kabupaten tersebut.
Sejatinya dengan penggalian data lebih lengkap, akan memberikan peluang untuk menganalisis sebab musababnya dan sebagai acuan dalam menentukan program-program dimasa mendatang. Tidak hanya dijual untuk menjadi pengukur prestasi kegiatan Pendidikan semata.
Semoga kita lebih bijak dan komprehensif dalam bingkai edukatif dalam menyajikan data. Sebaliknya sebagai pembaca data, setidaknya kita tidak latah dengan mata telanjang mengukur sukses atau tidaknya sebuah lembaga pendidikan, meskipun itu sah-sah saja, namun bagi stake holder, share holder dan pemangku kepentingan dalam dunia kependidikan dan pemangku kebijakan tidaklah arif dan bijaksana jika menggunakan cara pandang keumuman.
Semoga bermanfaat dan lebih melecut kita untuk senantiasa menyajikan data lebih berkwalitas dan mengedukasi.
*) Kholid Hanafi, Guru Bimbingan dan Konseling SMA Negeri 1 Ponorogo, Ramadhan ke 17Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H