Bayangkan ketika kamu sedang berjalan tiba-tiba disiuli dengan komentar genit menusuk telinga. "Hai cewek..pstt" "Kiw-kiw" "duh, sini sama abang!". Perasaan nyaman seketika sirna, digantikan rasa malu dan terintimidasi. Itulah catcalling, "hadiah" tak diundang yang mewarnai jalanan. Di balik tembok budaya santun Surakarta, catcalling bagaikan luka yang menganga.
Dalam ajaran agama Islam, Allah Swt. telah memerintahkan umat Islam agar senantiasa berlaku adil dalam segala hal, tanpa memandang golongan, kerabat atau agama yang dipeluknya. Dalam perintah mengedepankan keadilan ini diiringi dengan berbuat baik (ihsan) kepada sesama. Maksud ihsan di sini bukan hanya tindakan baik, tapi juga lebih dari sekadar melakukan kebaikan berupa pemberian materi, tapi juga disertai dengan adab, toleransi, tepo seliro, dan sejenisnya.
Allah Swt. menyampaikan perintah berbuat adil dan ihsan ini dalam Surat al- Nahl [16] ayat 90 sebagai berikut:
اِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
Artinya, "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran" (QS al-Nahl [16] ayat 90).
Islam memandang catcalling sebagai perbuatan yang tidak memoderasi gender dan wujud lunturnya nilai hamblumminannas. Dimana Perempuan juga memiliki Hak untuk aman dan bebas dari rasa terintimidasi akan tetapi mereka kaum (bringasan) memperkosa hak tersebut secara tidak langsung serta Catcalling menciptakan atmosfer ketakutan dan ketidaknyamanan bagi perempuan di ruang publik. Lebih dari itu, catcalling merupakan sebuah bentuk pelecehan yang merendahkan martabat perempuan. Tubuh perempuan diobjektifikasi, direduksi menjadi komoditas seksual semata. Pandangan ini bertentangan dengan ajaran Islam rahmatan lil 'alamin yang menekankan kesetaraan gender dan kehormatan manusia karena hal tersebut sudah ada Ketika zaman Rasulullah saw.
Fenomena catcalling tak lepas dari akar budaya patriarki yang mengakar kuat dalam masyarakat. Kultur yang memosisikan laki-laki sebagai pihak dominan dan perempuan sebagai subordinat. Budaya ini memicu anggapan bahwa perempuan "pantas" mendapatkan komentar dan rayuan tak senonoh di ruang publik.
Melawan catcalling berarti melawan budaya patriarki. Perlu adanya edukasi dan kesadaran kolektif bahwa catcalling bukan lelucon, melainkan bentuk pelecehan yang tak tertoleransi. Marilah bersama-sama menentang sekecilpun catcalling, Wujudkan Surakarta yang aman dan nyaman, di mana setiap langkah terasa dihargai, bukan dilecehkan. Menebar kesadaran bahwa perempuan berhak atas rasa aman dan dihormati di ruang publik. Catcalling bukan budaya, tapi dosa. Lawan!
HIDUP PEREMPUAN YANG MELAWAN!!!!!!!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H