PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Kesehatan adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28H ayat 1, yang
mencakup hak hidup sejahtera, lingkungan sehat, dan pelayanan kesehatan. Hak ini melekat pada
setiap individu sejak lahir, tidak dapat dicabut, dan harus dilindungi oleh pemerintah. Untuk
menjamin hak ini, pemerintah menyediakan layanan kesehatan melalui pengaturan, pembinaan,
dan pembangunan. Sesuai UUD 1945, UU No. 36 Tahun 2009, dan UU No. 40 Tahun 2004, setiap
orang, termasuk masyarakat miskin, berhak atas perlindungan kesehatan demi kehidupan yang
sehat dan sejahtera. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bertujuan memberikan perlindungan
kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia melalui sistem jaminan yang terintegrasi. Program
ini dirancang untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar kesehatan masyarakat secara layak.
Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan ini, pemerintah membentuk Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam
pengelolaannya.
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang mulai berlaku pada 1 Januari 2014, telah
membawa dampak positif bagi masyarakat Indonesia. Hingga 2021, cakupan peserta JKN telah
mencapai 93% dari total populasi, atau sekitar 258,3 juta orang, menurut direktur utama BPJS
Kesehatan. Kemajuan teknologi kesehatan digital diharapkan mampu meningkatkan produktivitas
negara dan memperkuat posisi Indonesia. Namun, pelaksanaan program ini menghadapi berbagai
tantangan, seperti inefisiensi biaya operasional dalam pembayaran ke fasilitas kesehatan. Keluhan
dari masyarakat, tenaga medis, dan institusi pelayanan kesehatan juga masih sering terjadi. Salah
satu masalah yang mencuat adalah lonjakan jumlah pasien BPJS, yang menyebabkan kekurangan
kamar perawatan dan antrean panjang di sejumlah fasilitas kesehatan. Situasi ini diperburuk oleh
distribusi yang tidak merata, baik dalam hal fasilitas maupun tenaga kesehatan, terutama karena
sebagian besar peserta BPJS berasal dari golongan ekonomi rendah (92 juta dari 182 juta penerima
kartu BPJS). Pemerataan dalam aspek regulasi, pelayanan, fasilitas, dan pendanaan diperlukan
untuk mewujudkan Jaminan Kesehatan Sosial Nasional (JKSN) yang adil dan merata. Sebagai
bagian dari upaya tersebut, pemerintah terus meningkatkan kualitas layanan melalui BPJS, sesuai
amanat UU No. 40 Tahun 2004, yang menetapkan bahwa JKN adalah bentuk jaminan sosial wajib
bagi seluruh penduduk Indonesia.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
melibatkan berbagai fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, mulai dari
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) seperti puskesmas, klinik, praktik dokter, hingga
Rumah Sakit tipe D. Jika penanganan tidak dapat dilakukan di tingkat ini, pasien akan dirujuk ke
Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL), yang mencakup Rumah Sakit tipe C dan
B, dengan sistem rujukan berjenjang. Pada tahap akhir, pasien dapat dirujuk ke Fasilitas Kesehatan
Tingkat Tiga, yaitu Rumah Sakit tipe A, yang memiliki sarana dan prasarana paling lengkap serta
menjadi tempat rujukan terakhir. Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
71 Tahun 2013 Pasal 15, sistem rujukan harus mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan
untuk memastikan pelayanan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Sebagai contoh, RSUD Kota
Bandung, yang berfungsi sebagai FKRTL, melayani peserta JKN atau pasien BPJS Kesehatan
yang dirujuk dari FKTP, dengan pelayanan yang diharapkan memenuhi standar pemerintah,
termasuk prosedur administrasi yang jelas, ketersediaan obat dan peralatan medis, serta layanan
yang bermutu.
ANALISIS KASUS
RSUD Kota Bandung, sebagai Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL),
memiliki peran vital dalam menyediakan layanan kesehatan bagi peserta JKN atau BPJS
Kesehatan yang dirujuk dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Namun, sering kali
muncul masalah terkait dengan tingginya jumlah pasien yang menyebabkan keterbatasan kapasitas
di fasilitas, seperti ruang perawatan, tempat tidur, dan tenaga medis. Hal ini menjadi kendala besar
dalam memberikan pelayanan yang efisien, cepat, dan bermutu. Sistem rujukan berjenjang yang
diterapkan dalam JKN membutuhkan koordinasi yang efektif antara FKTP dan FKRTL.
Namun, dalam prakteknya, sering terjadi kesalahan atau keterlambatan dalam proses
rujukan akibat kurangnya komunikasi antar fasilitas kesehatan atau perbedaan pemahaman tentang
prosedur rujukan. Akibatnya, pasien sering terlambat menerima perawatan yang dibutuhkan, yang
dapat memperburuk kondisi kesehatan mereka, terutama bagi pasien yang memerlukan
penanganan segera. Walaupun RSUD Kota Bandung memiliki fasilitas yang lengkap, keterbatasan
jumlah tenaga medis masih menjadi masalah. Pasien yang dirujuk dari FKTP seringkali melebihi
kapasitas rumah sakit, sementara jumlah dokter spesialis dan perawat terbatas. Hal ini diperburuk
oleh rotasi tenaga medis yang kurang optimal, sehingga penanganan pasien menjadi lebih lama,
yang pada akhirnya berdampak pada penurunan kualitas pelayanan dan kepuasan pasien. Masalah
lain yang dihadapi oleh RSUD Kota Bandung adalah terkait dengan biaya operasional dan
keterlambatan pembayaran dari BPJS Kesehatan. Beberapa rumah sakit, termasuk RSUD Kota
Bandung, mengeluhkan bahwa biaya yang diterima tidak sesuai dengan jumlah layanan yang
diberikan. Keterlambatan dalam pembayaran ini mengganggu arus kas rumah sakit dan
memengaruhi kemampuan rumah sakit untuk memberikan layanan kesehatan yang optimal.
Keterlambatan ini juga berdampak pada tersedianya obat dan peralatan medis.
Jumlah peserta JKN yang semakin meningkat menambah beban pada fasilitas kesehatan,
termasuk RSUD Kota Bandung. Meskipun BPJS telah membagikan kartu kepada 182 juta
penduduk, sekitar 92 juta orang berasal dari kelompok ekonomi rendah, yang seringkali
menghadapi kesulitan dalam mengakses pelayanan kesehatan. Keterbatasan fasilitas dan
pemerataan tenaga medis di rumah sakit menjadi tantangan besar dalam memberikan pelayanan
yang merata, dan RSUD Kota Bandung sering kali kesulitan menangani lonjakan jumlah pasien
yang signifikan. Terdapat perbedaan antara tujuan JKN yang telah ditetapkan oleh pemerintah
dengan kenyataan di lapangan. Salah satu masalah utama adalah banyaknya prosedur rumit dalam
sistem rujukan JKN, seperti: satu surat rujukan hanya berlaku untuk satu jenis penyakit, tidak boleh
melakukan pemeriksaan penyakit lain pada hari yang sama, kontrol rutin untuk pasien rujukan
hanya bisa dilakukan sebulan sekali, serta minimnya informasi mengenai prosedur JKN/BPJS
kepada peserta. Selain itu, layanan yang tersedia bagi pasien BPJS Kesehatan sangat terbatas,
termasuk keterbatasan jumlah tempat tidur, obat-obatan yang hanya ditanggung sebagian oleh
BPJS, dan fasilitas parkir yang terbatas. Ketidakpuasan peserta BPJS juga terlihat dari masalah
kualitas pelayanan, seperti waktu tunggu yang lama, ketidakjelasan jenis layanan rumah sakit,
kurangnya perhatian dari petugas medis, dan sikap tidak sopan yang diterima oleh pasien BPJS.
Adanya (JKN) memberikan sejumlah dampak positif bagi masyarakat dalam berbagai
bidang. Pertama, akses terhadap layanan kesehatan menjadi lebih luas, di mana seluruh
masyarakat, termasuk golongan ekonomi kurang mampu, kini memiliki kesempatan untuk
memperoleh perawatan medis yang sebelumnya sulit diakses. Program ini memastikan bahwa
setiap warga negara berhak mendapatkan layanan kesehatan yang layak tanpa khawatir akan biaya.
Kedua, beban ekonomi bagi keluarga yang membutuhkan pengobatan berkurang. Sebelumnya,
biaya perawatan kesehatan yang tinggi sering kali menyebabkan kesulitan finansial. Dengan JKN,
masyarakat tidak perlu khawatir menanggung biaya besar karena BPJS Kesehatan menanggung
sebagian besar biaya tersebut. Ketiga, peningkatan kualitas hidup masyarakat bisa tercapai karena
lebih banyak orang mendapatkan perawatan medis yang memadai. Dengan perawatan yang tepat
waktu dan terjangkau, risiko kesehatan yang lebih serius bisa dicegah. Namun, ada juga tantangan
dalam implementasinya, seperti keterbatasan fasilitas dan tenaga medis, yang dapat mempengaruhi
kualitas pelayanan. Beberapa masyarakat masih merasakan ketidakpuasan akibat waktu tunggu
yang lama dan fasilitas yang terbatas. Secara keseluruhan, meskipun JKN memberikan banyak
manfaat, perbaikan dalam sistem ini masih diperlukan agar pelayanan lebih merata dan berkualitas.
SOLUSI DAN REKOMENDASI
Pertama, peningkatan infrastruktur dan fasilitas rumah sakit, seperti penambahan tempat
tidur dan peralatan medis, diperlukan untuk mengurangi beban pasien. Kedua, optimalisasi sistem
rujukan berjenjang melalui pelatihan dan peningkatan komunikasi antar fasilitas kesehatan akan
memastikan rujukan berjalan lebih lancar. Selain itu, penambahan tenaga medis dan rotasi yang
efisien penting untuk menjaga kualitas pelayanan. Perbaikan sistem pembiayaan dan transparansi
keuangan rumah sakit juga diperlukan untuk mengatasi keterlambatan pembayaran BPJS.
Peningkatan kualitas layanan dan kepuasan pasien dengan memperbaiki waktu tunggu dan sikap
petugas medis, serta sosialisasi tentang hak pasien, akan menciptakan pengalaman pelayanan yang
lebih baik. Terakhir, evaluasi dan pengawasan berkelanjutan terhadap pelaksanaan JKN akan
memastikan kebijakan yang lebih baik kedepannya.
KESIMPULAN
Secara keseluruhan, penerapan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di RSUD Kota Bandung memberikan manfaat positif bagi masyarakat, terutama dalam hal akses dan keterjangkauan layanan kesehatan. Program ini memungkinkan masyarakat, termasuk yang berpendapatan rendah, untuk memperoleh perawatan medis yang sebelumnya sulit diakses karena kendala biaya. Selain itu, JKN mengurangi beban finansial keluarga, karena biaya perawatan yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Namun, meskipun manfaatnya signifikan, implementasi JKN di RSUD Kota Bandung juga menghadapi beberapa kendala, seperti keterbatasan fasilitas, tenaga medis, dan masalah administratif. Lonjakan jumlah pasien yang terus meningkat menyebabkan rumah sakit kesulitan dalam mengelola kapasitas, baik dari sisi tempat tidur, peralatan medis, maupun tenaga medis. Selain itu, permasalahan dalam sistem rujukan dan keterlambatan
pembayaran dari BPJS Kesehatan turut memperburuk situasi. Dengan demikian, meskipun JKN di RSUD Kota Bandung memberikan banyak manfaat, perbaikan berkelanjutan diperlukan dalam hal infrastruktur, tenaga medis, dan sistem pembayaran agar layanan kesehatan bisa diberikan
dengan merata. Jika tantangan ini dapat diatasi, JKN akan memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat.
REFERENSI
1. Irwandy, I., & Sjaaf, A. C. (2018). Dampak Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional terhadap
Efisiensi Rumah Sakit: Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Selatan. Media Kesehatan
Masyarakat Indonesia, 14(4), 360. https://doi.org/10.30597/mkmi.v14i4.5144
2. Nugraheni, A. I., C. Ermayani Putriyanti, & Kurnianto, A. (2023). Tinjauan Literatur: Evaluasi
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia. Jurnal Kesehatan, 12(2), 368–
376. https://doi.org/10.46815/jk.v12i2.184
3. Nuurjannah, N, Y. (2021). Implementasi Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Di Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bandung. Jurnal Ilmiah Administrasi Pemerintahan
Daerah, 13(2), 63–77. https://ejournal.ipdn.ac.id/JAPD/article/view/2246
4. Rahayu, J., Fadhilah, R. N., Yulisa, M., & Azzahra, K. (2022). 940-2888-1-Pb. 3(2), 71–78.
Suprianto, A., & Mutiarin, D. (2017). Evaluasi Pelaksanaan 5. Jaminan Kesehatan Nasional. Journal
of Governance and Public Policy, 4(1), 71–107. https://doi.org/10.18196/jgpp.4172
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H