Sindrom mengenai nawaning dan gawagis di pondok pesantren sekarang mulai merajalela di pesantren-pesantren yang ada di Indonesia. Apasih pengertian dari sindrom itu sendiri? Dan apasih pengertian dari nawaning dan gawagis itu sendiri? Oke, mari kita bahas.
Sindrom, dalam ilmu kedokteran dan psikologi yakni kumpulan dari beberapa tanda dan gejala kinis yang sering berhubungan dan muncul bersamaan, serta diasosiasikan dengan penyakit atau gangguan kesehatan tertentu atau juga bisa disebut bersifat fanatik terhadap suatu hal sehingga ia harus melakukan itu. Sedangkan gus adalah panggilan akrab untuk putra kyai dan jamaknya adalah gawagis. Dan ning adalah panggilan akrab untuk putri kyai dan jamaknya adalah nawaning. Panggilan tersebut berlaku di kalangan pesantren di daerah jawa, khususnya daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Dari pengertian diatas saya pernah melihat postingan di salah satu akun Instagram @q.ayunsadun tentang sindrom nawaning. Yang mana caption dari postingan tersebut berisi seperti ini “Kulo niku khawatir kalau disebut selebgram. Karena orang melihat hanya dhohirnya saja. Bagus-bagusnya saja.” Dawuh Ning Sheila pada sebuah kesempatan seminar. Kekhawatiran beliau bukan tanpa dasar. Beberapa waktu lalu ning Ayun Sa’dun ini sempat membaca salah satu curhatan dari seorang ibu yang terpaksa mencari-cari pinjaman uang demi memenuhi permintaan anaknya guna membeli berbagai baju dan kerudung yang dikenakan oleh para nawaning di sosial media. Ibu tersebut tersedu sedan mendapati kenyataan tersebut. Meurut ibu tersebut, harga baju-baju tersebut terlalu berlebihan untuk ukuran keluarganya. Memang sudah menjadi fitrah manusia yang sering kali terpana dengan tampilan fisik belaka. Oleh karenanya kita perlu mengingatkan diri berkali-kali. Bahwasnnya dunia ini kecil saja remeh dihadapan Allah. Termasuk ketika kita melihat seorang idola, lihatlah dari kacamata berbeda, jangan hanya dari luarnya saja. Untuk menjadi Ning Sheila yang hari ini, beliau harus menempuh pendidikan dari berbagai pondok pesantren. Dan pada berbagai kesempatan beliau bercerita bahwa beliau betul-betul belajar dengan sungguh. Tidak berhenti saat menyandang gelar khatam. Terus belajar kitab, lalu Tabarrukan Al-Qur'an. Hingga hari ini beliau terus berkhidmah untuk ilmu. Saat kita sibuk scroll-scroll, beliau menempuh perjalanan melelahkan untuk menyampaikan ilmu. Bahkan ketika bermalam di rumah kami (ning Ayun Sa’dun) Cak @ahmadkafa tetap melaksanakan tahajud. Meski kami tahu betul, perjalanan hari itu amat menguras energi. Dan cara beliau memenej emosi batin ketika dihantam berbagai ujian inilah bagian terpenting yang patut kita teladani. Bagaimana beliau tetap bersyukur meski pada titik yang sulit. Biasanya level bersyukur di setiap keadaan ini bisa dicapai hanya oleh orang-orang sepuh setelah latihan sepanjang hidup. Namun, beliau mampu sampai bahkan di usia yang relatif muda. Jadi fokus beliau bukan pada foto-foto yang estetik atau baju-baju yang nyentrik. Semua itu hanya secuil selingan dari panjang dan beratnya perjuangan beliau. Oleh karena khidmahnya pada agama, Allah anugerahkan nikmat-nikmat dunia, yang sebetulnya nilainya kecil saja di mata Allah. Jadi jangan dibalik logikanya, meniru outfitnya tapi luput meneladani semangat juangnya. Kalau kita bisa meniru semangat juangnya insyaallah outfit mah ngikut aja. Tapi, kalau cuma mengikuti outfitnya ya sudah itu saja yang kita dapatkan. Jadi, jangan salah fokus ya teman-teman. Nanti gak cakep hasil bidikannya.”
Beberapa faktor yang menyebabkan masalah ini terjadi yakni, orang hanya melihat dari tampak luarnya saja, orang-orang ingin menjadi sama seperti beliau-beliau tetapi tidak bisa, pemikiran yang kurang matang, hasrat keinginan yang tinggi, kurangnya melatih diri untuk selalu bersifat qana’ah, kurangnya sifat bersyukur. Kita harus bisa paham dengan keadaan diri kita dan keluarga kita. Kita tidak harus meniru outfit dari beliau-beliau, malah yang harus kita tiru itu kesungguhan beliau dalam mencari ilmu dan mengamalkannya. Dimana beliau-beliau ini sejak kecil sudah dididik untuk belajar mengaji, padahal di usia-usia seperti itu umunya anak kecil masing ingin bermain dan bermain, tapi berbeda dengan para nawaning dan gawagis ini. Usaha beliau-beliau ini sungguh luar biasa mulai dari mencari ilmu ke berbagai pondok pesantren yang harus hidup jauh dari orang tua dan saudara-saudara, yang harus selalau belajar mandiri, karena di pesantren para santri dilatih untuk selalu mandiri dalam melakukan aktivitas, seperti mencuci piring sendiri, mencucu baju sendiri, dan masih banyak lagi. Hingga seperti sekarang ini beliau-beliau menuai hasil dari kerja keras sedari kecil sampai berumah tangga. Ingat teman-teman semua usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil. Sedikit saran dari saya agar kita tidak bersifat sindrom terhadap nawaning dan gawagus yakni, selalu sibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan yang positif dan bermanfaat seperti mengaji, tadarusan al-Qur’an, muroja’ah, selalu berpikir positif terhadap suatu hal apapun, tidak suudzon, itulah beberapa tips dari saya semoga dapat membantu teman-teman semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H