Mohon tunggu...
Khoirun Nisa
Khoirun Nisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Inggris

Universitas Islam Sultan Agung Semarang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam

24 Juni 2021   12:50 Diperbarui: 24 Juni 2021   12:52 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Adanya pertentangan antara syari’at Islam dengan HAM sebenarnya berasal dari ketentuan hukum Islam atau fiqih yang berbeda dengan beberapa ketentuan dalam HAM. Dalam hukum Islam yang selama ini dipahami oleh mayoritas muslim adalah hasil pemikiran dari abad pertengahan. Sebagai sebuah hasil pemikiran, maka ketentuan yang terdapat dalam syari’at pun tidak bisa dilepaskan dari ketentuan sejarah yang telah membentuknya. Oleh karena itu, apabila ketentuan syari’at itu dihadapkan dengan ketentuan yang dihasilkan dari pemikiran modern seperti halnya HAM, maka akan timbul kesenjangan dan pertentangan antara HAM dan syari’at Islam.

Beberapa hal dalam hukum Islam yang dianggap bertentangan dengan HAM adalah sebagai berikut:

Status hukum perempuan. 

Pemikiran tentang kesetaraan gender tidak dikenal dalam konsep syari’at Islam. Sehingga secara teoritis, laki-laki diizinkan untuk berpoligami dengan empat orang perempuan dalam kondisi tertentu. Menurut syari’at Islam poligami merupakan bagian dari memberikan perlindungan terhadap para janda dan anak yatim dalam masyarakat di era pra-modern, namun di era modern hal itu dianggap sebagai bentuk dari diskriminasi gender, karena adanya ketidaksetaraan antara hak bagi laki laki dan perempuan, yaitu laki-laki diperbolehkan menikahi empat orang perempuan sedangkan perempuan hanya boleh menikahi satu orang laki laki. Dalam QS An-Nisa’ ayat 3 telah dijelaskan

  • Artinya:“dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya yang kamu miliki, Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat dzalim.” Yang mana dimaksudkan adalah laki-laki tersebut bisa menikahi lebih dari satu perempuan apabila laki-laki itu mampu dan bisa berperilaku adil terhadap istrinya.

Bentuk yang dianggap diskriminatif lainnya terlihat pada pembagian harta warisan, laki-laki akan mendapat dua kali lebih banyak dari perempuan. Sebagaimana yang tertulis dalam QS An-Nisa’ ayat 11 ,

  • Artinya: “Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” Hal itu dikarenakan tanggung jawab anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan, seperti menafkahi dirinya, anakanaknya, istrinya, dan kerabat yang berada di bawah tanggungannya, sedangkan tanggung jawab anak perempuan tidak demikian.

Pembatasan kebebasan beragama. 

Islam menegaskan bahwa tidak ada paksaan apapun dalam beragama, oleh karena itu umat muslim memberikan toleransi yang besar terhadap pemeluk agama lain yang hidup di bawah kekuasaan politik Islam. Namun, toleransi yang diberikan Islam terhadap penduduk non-muslim dianggap sangat terbatas bila dibandingkan dengan ketentuan HAM yang mengakui perbedaan keyakinan sebagai dasar persamaan. Di dalam syari’at Islam terdapat larangan pernikahan antara umat muslim dengan non-muslim, hal ini dikarenakan hasil pernikahan pasangan tersebut tidak sah dalam agama. Sebagaimana yang tertulis dalam QS Al-Baqarah ayat 221

  • Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.'' Yang mana di maksudkan, agar kita sebagai umat muslim harus berhati hati dalam memilih pasangan, karna pernikahan yang terjalin antara umat muslim dana non-muslim ini akan dianggap sebagai perzinahan, serta pernikahan yang dilandasi keimanan, ketakwaan, dan kasih sayang akan mewujudkan kebahagiaan, ketenteraman, dan keharmonisan .

Jalan Tengah antara Hukum Islam dan HAM

Dalam Ajaran Islam ada dua bentuk penafsiran syari’at yaitu; tradisional dan evolusionis. Golongan muslim tradisional masih teguh dan menjunjung tinggi penuh penafsiran klasik syari’at yang telah ada sejak dulu didalam fiqih Islam. Golongan ini biasa di sebut konservatif atau golongan muslim garis keras, karena mereka masih berpegang teguh pada pendapat-pendapat terdahulu dan tidak meninjau kembali pendapat-pendapat tersebut ke dalam konteks yang sekarang atau kedepannya. Sedangkan, kalangan evolusionis yang juga masih berpegang teguh pada fiqih dan metode terdahulu, namun mereka juga melihat kedepannya. Hal ini dimaksudkan mereka melakukan tinjauan kembali dan membuatnya menjadi relevan dengan zaman sekarang. Jika dipahami lebih dalam, hak asasi manusia internasional dimaknai sebagai tujuan kemanusiaan universal dalam melindungi masing-masing dari manusia dan kewenangan pemerintah dalam menjalankan tugasnya serta berutujuan untuk meningkatkan martabat manusia. Maka, hal ini dapat menghapus keterkaitan dengan hukum syari’at Islam yang tidak sejalan dengan HAM, karena tujuan tersebut dijadikan sebagai pondasi atau dasar politik dan hukum Islam.  Sehingga tidak menutup kemungkinan adanya perbedaan konseptual di beberapa era, dan hal ini tidak menjadikan pertentangan antara hukum islam dan hak asasi manusia internasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun