Mohon tunggu...
Khoirul Umam
Khoirul Umam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember

Saya aslinya dua orang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

SEMA 2/2023 vs Prinsip Hukum Islam, Sesuaikah?

21 Oktober 2023   22:03 Diperbarui: 21 Oktober 2023   22:19 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Problematika perkawinan beda agama merupakan problem sosial yang telah lama adanya dan selalu menjadi pembahasan menarik di kalangan akademisi maupun masyarakat awam. Problem ini mulai muncul sejak diundangkannya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Pasalnya dalam UU ini secara eksplisit melarang adanya perkawinan beda agama utamanya dalam pasal 2 ayat (1) yang menjelaskan bahwa "perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Maka pada dasarnya jika memandang dari ketentuan pasal ini, perkawinan beda agama di Indonesia seharusnya tidak dapat dilaksanakan. Karena telah bertentangan dengan isi dan kandungan UU ini.

Namun pada faktanya, praktek perkawinan beda agama masih marak di negara ini. Seperti pada putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 916/Pdt.P/2022/PN Sby yang mengabulkan permohonan perkawinan beda agama. Hal ini secara tidak langsung melanggar ketentuan pasal 2 ayat (1) UU 1/1974, namun dalam pertimbangan hakim dasar hukum yang digunakan adalah pasal 35 UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Hakim menilai bahwa dalam pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 tidak mengatur secara jelas larangan perkawinan beda agama di Indonesia.

Dalam merespon fenomena ini, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Hakim dalam Mengadili Perkara Perkawinan antar-umat berbeda Agama dan Kepercayaan. SEMA ini menuai kontroversi dan sikap pro kontra masyarakat. Masyarakat yang pro menilai SEMA ini telah sesuai dalam fungsinya untuk menutup pintu perkawinan beda agama di Indonesia. Namun masyarakat yang kontra menilai bahwa SEMA ini menyalahi kebebasan melanjutkan keturunanan bagi masyarakat Indonesia dan menyalahi Hak Asasi Manusia yang dimiliki masing-masing personal.

Dalam pandangan penulis jika dipandang dari prinsip hukum Islam, SEMA ini telah sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Dalam prinsip hukum Islam dikenal prinsip tauhid, prinsip hurriyah, dan prinsip tasamuh. 

Prinsip tauhid adalah menempatkan akidah dan agama dalam posisi tertinggi dalam ketentuan huku. Dimana hukum tidak boleh bertentangan dengan syariat atau hukum agama. Maka berdasar dari prinsip tauhid ini, SEMA memberikan kepastian hukum dalam mencegah perkawinan beda agama yang notabennya dilarang oleh agama, khususnya agama Islam. Prinsip kedua yakni prinsip hurriyah atau prinsip kemerdekaan dan kebebasan. 

Prinsip kebebasan atau kemerdekaan tidak dapat dimaknai secara kontekstual saja, dimana kebebasan diartikan sebagai kebebasan sebebas-bebasnya dengan tanpa adanya batas dan aturan. Namun dalam prinsip hurriyah yang dimaksud disini adalah kebebasan dengan dibatasi hukum yang berlaku, baik hukum positif, hukum Islam, maupun hukum adat, sehingga dalam pelaksanaan hukum yang ada, tidak melanggar nilai-nilai moral masyarakat yang dalam hal ini adalah Pancasila. Maka berdasar dari prinsip hurriyah ini, SEMA menjadi pembatas adanya kebebasan yang diberikan negara kepada masyarakat untuk melangsungkan perkawinan dengan dibatasi oleh agama sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974. 

Selanjutnya prinsip tasamuh atau toleransi diartikan sebagai prinsip yang berorientasi pada sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan yang ada dalam masyarakat. Dalam kerangka keagamaan, prinsip ini termuat dalam Al-Qur'an surat Al-Kafirun ayat 6 yang artinya "Untukmu agamamu dan untukku agamaku". Jika ditinjau dari prinsip ini, SEMA 2/2023 menjadi pedoman masyarakat dalam menjalankan toleransi khususnya dalam ranah perkawinan. Dimana tidak diperbolehkannya mencampur adukkan toleransi dalam ranah keagamaan dan toleransi dalam ranah muamalah atau hubungan kemasyarakatan.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun