Masih ramai diberitakan perihal peristiwa #411 kemarin dimana pihak yang menginisiasi aksi massa besar kemarin adalah ormas Front Pembela Islam (FPI). Ormas Islam yang satu ini memang cukup ‘nyentrik’ dengan aksi-aksi mereka yang kerap kontroversial. Tak jarang mereka menggunakan cara-cara kekerasan apabila berhadapan dengan kemaksiatan. Akibatnya, kerugian materiil dan jatuhnya korban pun tak terelakkan.
Pada awal kemunculannya, sekitar akhir 90’an, ormas ini memang lebih banyak berktivitas seputar sweeping tempat maksiat dan penjual minuman beralkohol. Kemunculannya waktu itu banyak dianggap sebagai partisipasi asyarakat yang latah untuk eksis pasca tumbanganya rezim represif Orde Baru. Kebebasan berserikat yang semula ditekan oleh penguasa telah berakhir. Masyarakat berlomba membangun serikat seperti ormas, LSM, hingga partai politik. Organisasi yang lama bergerak di bawah tanah pun ikut menunjukkan eksistensi mereka. Kepentingan mereka pun bermacam-macam. Mulai dari sekedar hobi hingga berorientasi ekonomi-politik. FPI sebagai ormas Islam banyak dinilai hanya sebagai ormas dakwah yang agresif. Hingga pada suatu peristiwa penyerangan kelompok yang diduga anggota FPI terhadap aksi massa gerakan golongan ‘kiri’.
Peristiwa penyerangan itu pada akhirnya membuat publik mulai menyangsikan FPI sebagai gerakan dakwah. Terlihat jelas ada aktor yang menggerakkan kelompok tersebut untuk melakukan tindakan represif pada kelompok lain. Ditambah ‘pasif’nya anggota kepolisian saat peristiwa itu terjadi. Pada peristiwa-peristiwa selanjutnya, pihak kepolisian malah ‘manut’ setiap FPI melakukan aksi. Di beberapa kesempatan malah lebih parah, pimpinan FPI dan polisi terlihat ‘akrab’ di lapangan sampai beberapa kasus memalukan anggota polisi tak berdaya dibentak anggota FPI. Bagi saya yang paling besar adalah peristiwa Monas pada 2008. Bagaimana kolaborasi FPI dan kepolisian yang mengakibatkan banyak wanita dan anak-anak mengalami kekerasan.
Segala peristiwa yang melibatkan pihak kepolisian dan FPI semakin membuat publik penasaran. Mereka punya hubungan apa sih? Semua masih menjadi pergunjingan hingga saat ini. Ada juga beberapa pihak yang mulai, entah beropini atau membeberkan fakta, menganai teori “FPI anak Polisi”. Jika kita googling dengan kata kunci tersebut, maka akan muncul puluhan artikel yang semua isinya hampir sama. Bahkan ada pula yang yang memuat bocoran dari wikileaks mengenai pihak yang mendanai FPI serta apa fungsi FPI bagi penyandang dana tersebut. Kita juga dapat menemukan beberapa nama Purnawirawan Jendral TNI populer yang penah terlibat dengan mereka. Beberapa diantaranya sebut saja Wiranto dan Kivlan Zein. Namun, entah bagaimana hubungan mereka dan apakah hubungan mereka masih berlanjut tidak diketahui secara jelas.
Aksi #411 kemarin juga masih banyak meninggalkan misteri. Ditambah keterangan pak presiden yang semakin bikin kepo. Siapa yang menggerakkan massa? Siapa penyandang dananya? Siapa yang memulai kerusuhan? Adakah kaitan dengan pilkada DKI? Siapa aktor politik yang disebut oleh presiden dan apa tujuan utamanya? Masih banyak lagi pertanyaan yang membuat publik penasaran perihal apa yang sedang terjadi. Sementara publik lebih banyak terpaku pada ‘siapa’, saya lebih tertarik untk mengetahui ‘apa’ yang ada dibelakang peristiwa #411. Karena bagi saya, siapa pun yang berkepentingan di dalamnya, toh proses dan tujuannya tidak banyak berbeda.
Bukan “Siapa”, Tapi Ada “Apa” Di Balik Pergerakan FPI?
Beberapa tahun belakangan pergerakan kelompok Islam garis keras semakin masif. Suara-suara penegakan Syariat Islam dan/atau pendirian Khilafah tak berhenti terdengar. Beberengan pula dengan perluasan ide sentimen SARA yang sempat lama tenggelam. Terutama saat pilpres 2014 lalu. Sentimen SARA terdengar cukup kencang akibat kampanye hitam pada kedua pasangan capres-cawapres (ya, memang benar pihak Jokowi-JK adalah pihak yang paling banyak terkena kampanye hitam – sekedar untuk menjawab golongan yang tidak puas dengan kalimat saya).
Jika kita mengingat sekitar gelaran pilpres lalu, FPI tidak bereaksi seagresif saat ini untuk menentang pasangan Jokowi-JK. Mereka cukup pintar untuk membedakan informasi yang bersumber dari fakta atau fitnah yang dibuat simpatisan pihak lawan. Kita pasti ingat kader dan simpatisan siapa yang dengan bersemangat melakukan kampanye hitam. Namun FPI juga tidak hanya berdiam diri, mereka melakukan manuver politik dengan merapat ke kubu Prabowo-Hatta. Atau setidaknya, begitulah yang terlihat. Mungkin bagi mereka, ini bukan panggung yang tepat untuk beraksi karena kedua pasangan calon memiliki poin negatif di mata mereka.
Pola pergerakan FPI ketika berhubungan dengan politik nasional memang cukup menarik perhatian. Bagaimana mereka yang pada awalnya bertindak reaksioner sebagai counter dan pengalih isu berubah menjadi inisiator isu. Hal ini juga tidak lepas dari semakin tumbuh dan berkembangnya ormas mereka baik dalam hal jumlah keanggotaan maupun organisasi aktivitasnya. Pergerakan mereka tidak lagi sporadis, tapi lebih terkontrol dengan garis komando yang jelas dari daerah sampai pusat. Aksi #411 menjadi contoh nyata bagaimana rapi dan terorganisirnya aktivitas mereka. Juga tidak lupa, bagaimana besarnya pengaruh mereka pada masyarakat yang, bagi mereka, sangat menguntungkan posisi tawar mereka pada penguasa ataupun tokoh oposisi. FPI bukan menemukan panggung untuk unjuk gigi, tapi membuat panggung mereka sendiri.
Aksi #411 kemarin memang mengusung tema membela Islam, tapi sepenting itukah mulut Basuki hingga isu ini menjadi berskala nasional bahkan internasional? Banyak yang berpikir tidak demikian adanya. Tapi, sebagian besar opini publik mengarah pada pilkada DKI. Saya lebih memilih untuk melihat peristiwa ini secara lebih luas (meskipun tidak terlalu mendalam). Beberapa tahun terakhir, aksi massa yang mengusung isu ekonomi rakyat, penegakan hukum, dan pendidikan tidak pernah nampak terjadi dalam skala besar.
Perlahan rakyat seakan mulai melupakan masalah ketimpangan ekonomi dan pendidikan. Tak ada reaksi berlebihan ketika pemerintah perlahan mencabut subsidi BBM, banyaknya kasus korupsi yang mangkrak, pengusutan pelanggaran HAM di masa lalu, hingga yang biasanya ramai di penghujung tahun adalah tuntutan buruh mengenai kenaikan UMR. Suara aktivis, LSM, buruh, rakyat kecil, hingga mahasiswa terbungkam. Atau mungkin lebih tepatnya, tidak menemukan panggung karena semuanya terisi penuh oleh isu lain. Bahkan isu rekonsiliasi korban ’65 pun tidak lagi terdengar padahal sebelumnya sempat membelah opini jajaran kabinet dan para Jenderal TNI.