Mohon tunggu...
Khoirul Anam
Khoirul Anam Mohon Tunggu... lainnya -

Tidak mampu mendeskripsikan diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Persatuan (Semu) Indonesia

7 Juni 2014   17:57 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:50 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pilpres tahun ini memang cukup semarak. Beragam upaya politik dilakukan kedua kubu capres untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya. Namun yang membuat lebih menarik untuk kita ikuti adalah kampanye hitam berbau SARA. Berbagai isu negatif coba dikumandangkan kedua kubu untuk saling menjatuhkan. Hal ini sangat beresiko mengundang fanatisme yang akhirnya menutup objektifitas masyarakat dalam berpikir secara objektif untuk menentukan presiden pilihan mereka. Ide dan visi sudah tidak lagi dihiraukan oleh pemilih. Mereka digiring menuju opini “siapa yang lebih buruk harus ditinggalkan”. Keburukan dalam hal ini bukan terbatas pada kejujuran dan kinerja, namun lebih mengarah pada pribadi capres dengan seluruh latar belakangnya yang belum tentu benar.

Menjadi hal yang menarik untuk dicermati ketika isu SARA dapat ditelan bulat-bulat oleh masyarakat Indonesia yang notabene bangsa dengan tingkat keberagaman tinggi. Rasa sentimen atas kelompok lain seakan masih cukup tinggi (dan begitulah kenyataannya). Dalam hal ini, saya bahkan membayangkan bahwa pluralisme kita hanyalah sebuah bom waktu yang menunggu pemicunya diaktifkan dan akhirnya meledak seperti Sampit, Ambon, Poso, Aceh, Papua, dan beberapa daerah lain yang menjadi saksi konflik vertikal maupun horizontal. Keadaan ini bertambah buruk dengan menyebarnya paham Islam radikal yang menyuarakan anti-pluralisme. Beberapa dari mereka mungkin akan membela diri dengan alasan beragam, termasuk menyalahkan pluralisme kita yang ‘kebablasan’ hingga secara terang mereka ingin mendirikan negara Islam atau khilafah. Istilah nabi terakhir, penyempurna ajaran terdahulu, hingga Rahmatan lil Alamin yang salah kaprah menjadi bius bagi mereka untuk membenci, bahkan membunuh, orang beragama lain tanpa mempedulikan sisi kemanusiaan dan persamaan derajat.

Pada masa orde lama, Soekarno berusaha menanamkan benih persatuan untuk bangsa ini. Beliau sangat mengerti akan keberagaman masyarakat Indonesia sehingga merasa perlu untuk menyadarkan mereka akan kebersaman dan cita-cit yang satu. Lahirnya NASAKOM pada waktu itu menuai dukungan dan kritik yang cukup luas, terutama dalam hal keikutsertaan PKI yang notabene partai dengan rasa persatuan tinggi tanpa sikap toleransi akan keberagaman. Beberapa pihak menolak bergabung dan ada yang terang-terangan memberontak terhadap pemerintah pusat. Soekarno yang seorang diri berada pada pusat konflik ideologi akhirnya menjadi korban keruntuhan fondasi yang dia bangun sendiri.

Memasuki masa orde baru, rasa persatuan dibuat dengan cara yang lebih agresif. Tak terhitung jumlah masyarakat Indonesia yang menjadi korban ideologi Pancasila ala orde baru. Cara-cara represif yang digunakan pemerintah semi-militer waktu itu memang dapat melahirkan persatuan yang kuat. Namun, persatuan yang terbangun bukan berasarkan kesadaran melainkan rasa takut. Masyarakat tidak lagi berani menampilkan perbedaan mereka dan mereka yang terlahir ‘berbeda’ menutup diri untuk proteksi. Stabilitas politik memang memiliki peranan kunci dalam penyelenggaraan negara masa orde baru. Hal ini diperlukan untuk investor asing demi ide pembangunan-isme. Pertumbuhan ekonomi yang pesat tidak disertai pemerataan sehingga ketimpangan yang curam terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat kita. Ketidak-adilan pemerintah seakan tak mampu diusik oleh kritik.

Masa reformasi menjadi angin segar bagi kemajuan demokrasi Indonesia. Harapan akan pemerintahan yang jujur dan adil seketika menggema ke seluruh penjuru tanah air. Namun sekali lagi, reformasi tidak banyak memberikan kontribusi dalam persatuan bangsa. berbagai konflik terjadi pada awal era reformasi. Terlepas dari adanya ‘kesengajaan’ beberapa pihak untuk memperkeruh suasana, konflik yang terjadi sangat disayangkan. Presiden terpilih pertama waktu itu, Abdurrahman Wahid, lebih banyak melakukan perjalanan ke luar negeri daripada mengurus ‘rumah’ yang sedang terguncang hebat. Waktu itu memang terdapat indikasi ‘pembiaran’ oleh pemerintah berwenang yang berada di pusat dan bahkan ada isu yang menyebutkan bahwa presiden diberikan kabar yang tidak sesuai fakta yang terjadi ketika tidak berada di tanah air. Meski begtu, bebrapa perubahan besar sempat dilakukan Gus Dur di masa pemerintahan beliau yang singkat. Dapat kita sebutkan diantaranya adalah pengakuan warga keturunan Tionghoa sebagai warga negara Indoesia dan perberlakuan hari Imlek sebagai libur nasional. Tidak lup juga penyelesaian masalah Papua yang menuntut berpisah tanpa pertumpahan darah. Kelakar seorang teman waktu itu bahkan tokoh Papua mengatakan bahwa Gus Dur harus menjadi presiden jika Papua benar-benar merdeka mengingat jasa beliau meredam kekuatan militer yang sudah bersiap ‘membasmi pemberontak’. Waktu itu beliau memang menyadarkan kita bahwa kemanusiaan lebih penting dari segalanya, termasuk simbol bahkan keutuhan negara.

Setelah Gus Dur diturunkan dari posisinya sebagai presiden, tidak ada lagi terobosan yang dilakukan pemerintah dalam membangun persatuan bangsa. Penyadaran masyarakat mengenai keragaman juga terkesan berhenti, bahkan lebih parah. Kelompok radikal memiliki ruang untuk bergerak secara leluasa hingga melakukan teror. Sentimen SARA mulai disuarakan kembali, ide permberlakuan syariat Islam muncul, hingga adanya golongan yang ingin mendirikan khilafah. Hal-hal tersebut seakan mengaktifkan kembali pemicu misil yang lama terpendam dalam tanah dan tidak aktif lagi. Puncaknya mungkin terjadi dalam pemilu 2014 saat ini. Memang tidak terjadi konflik SARA (atau belum) dalam skala besar, namun sentimen SARA menyebar secara luas mengingat pemilu saat ini berskala nasional. Meluasnya isu SARA yang ditunggangi kepentingan politik menyebarkan kembali rasa kebencian antar saudara kita. Sentimen anti-Cina kembali menguat, toleransi antar-umat beragama menjadi sekedar kata, hingga rasa lupa bahwa kita ini bangsa yang satu. Ormas Islam terbesar ikut terhanyut dalam aliran politik, ulama-ulama ikut-ikutan menyuarakan rasa sentimen terhadap pihak lain. Mereka tidak mapu lagi menjadi panutan umat yang dibimbingnya. Mereka mungkin akan cepat melupakan hal ini, tapi masyarakat kita yang terlanjur muncul kembali rasa sentimennya tidak akan begitu saja lupa.

Mungkin sudah saatnya masyarakat dierikan pembelajaran politik yang baik dengan tidak melakukan kampanye berbau SARA. Ide dan terobosan harus lebih dikedepankan daripada sibuk menjatuhkan lawan. Rakyat Indonesia perlu diarahkan untuk memilih yang terbaik dari yang terbaik, bukan yang lebih baik dari yang terburuk. Dengan begitu, kita dapat lebih berkonsentrasi pada pembangunan bangsa dan negara daripada sibuk merayakan kemenangan atau meratapi kekalahan. Persatuan bangsa harus lebih dikedepankan daripada sekedar meraih kekuasaan. Secara bertahap, kesadaran masyarakat mengenai keberagaman suku, bahasa, budaya, hingga agama serta bagaimana cara bersikap untuk saling menghargai perbedaan. Suatu saat, persatuan bangsa Indonesia yang kuat mungkin saja sudah bukan sebuah impian lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun