Oleh karena hal tersebut, perempuan harus turut aktif dalam panggung parlemen sehingga dapat membantu perempuan yang lainnya dalam perlindungan hak-hak perempuan.Â
Negara kita telah memberikan kuota sebesar 30% kepada para perempuan untuk turut berpartisipasi dalam panggung parlemen. Namun sayangnya kuota yang diberikan oleh negara tersebut tidak pernah terisi penuh. Mulai dari DPR RI hingga DPRD dan mulai tahun 1955 - 2019, keikutsertaan perempuan dalam panggung parlemen masih belum mencapai angka 30%.Â
Hal tersebut membuktikan masih adanya ketidakmampuan dalam memenuhi kuota 30% yang telah diberikan. Ketidakmampuan untuk memenuhi kuota 30% tersebut terjadi akibat adanya faktor penghambat perempuan turut andil dalam panggung parlemen, seperti:
Faktor Agama
Dalam agama Islam, perempuan pada hakikatnya adalah seorang ma'mum dan posisi imam yang merupakan seorang pemimpin adalah hakekat dari laki-laki. Oleh karena hal tersebut, jika ada perempuan yang terjun ke dalam panggung parlemen akan dipandang satiris karena mereka menganggap hal tersebut menyalahi aturan agama tersebut.Â
Faktor Sosial
Masyarakat Indonesia sering memandang dunia politik atau panggung parlemen sebagai tempat yang buruk dan kotor. Tak jarang juga masyarakat beranggapan bahwa di panggung parlemen merupakan tempat yang keras, dimana banyak perebutan kursi kekuasaan dan politik identik dengan korupsi. Karena hal tersebut, perempuan sebagai sosok yang dicap tidak memiliki kekuatan dipandang tidak mampu bertahan lama dalam panggung parlemen karena perempuan akan tetap kalah jika dibandingkan laki-laki.
Referensi:
Kiftiyah, A. (2017) Perempuan dalam Partisipasi Politik di Indonesia. Jurnal Yuridis 6(2), 55-72.
Kollo, F.L. (2017). Budaya Patriarki dan Partisipasi Perempuan dalam Bidang Politik. Prosiding Konferensi Nasional Kewarganegaraan III, 315-318.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H