Mohon tunggu...
Khofifah Dwi Khasanah
Khofifah Dwi Khasanah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Khofifah Dwi Khasanah Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta Semester 7 hoby saya menyanyi dan mendengarkan musik tinggal diKaranganyar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Artikel Perempuan Berhadapan Hukum Karangan Muhammad Julijanto

25 Oktober 2023   22:50 Diperbarui: 25 Oktober 2023   22:59 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Tidak ada dosa atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit, dan atas orang-orang yang tidak mendapatkan apa-apa yang dapat mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak ada jalan atas orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ( Al-qur‟an terjemah, 2010: 201)".

Islam juga  mengajarkan persamaan derajat dan persamaan peran untuk memakmurkan kehidupan dunia dengan segala potensi dan kemampuan manusia menciptakan kehidupan yang harmonis penuh dengan kebersamaan dan keteraturan sosial. Harmoni kehidupan merupakan dambaan kehidupan. Di mana semua komponen umat manusia saling berbagi peran dan fungsi yang saling membutuhkan dan bekerjasama secara seimbang.Hakikat permasalahan disabilitas terletak pada sejauh mana kecacatan fisik dan sosial serta belum terpenuhinya kebutuhan mental dan spiritual. Semakin tua usia kita, semakin dekat pula kita dengan agama. Sebab tidak ada yang pasti kecuali memasuki masa tua dan berakhir dengan kematian, kembali ke hadirat Tuhan Yang Maha Pencipta. Dalam hal ini jika lemah political will dari Pemerintah dan partisipasi aktif masyarakat untuk mengupayakan kesejahteraan difabel dari berbagai aspek keidupan, baik dalam lapangan ekonomi maupun sosial kemasyarakatan. Isu disabilitas menjadi isu nasional bahkan internasional, karena disabilitas adalah hak asasi manusia, sehingga harus dijamin keberlangsungannya di tengah masyarakat. Sebagaimana ditegaskan dalam beberapa ayat al-Qur‟an seperti QS. al-Hujurat [49]: 11-13, an-Nahl [16]: 97, al-Isra‟ [17]: 36 dan an-Nisa‟ [4]: 124 dan Hadis, seperti HR. Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Nabi saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan jasad kalian, tetapi Dia lebih melihat hati kalian. Dalam redaksi yang lain berdasarkan” (HR. Thabarani), Nabi bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa atau bentuk, kedudukan, dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal perbuatan kalian” dan hadis yang berbunyi: “Sesungguhnya hamba yang paling dicintai Allah adalah orang yang mencintai kebaikan sekaligus senang mengerjakannya”. Artinya, Islam lebih memandang hal yang subtantif daripada yang bersifat artificial serta lebih menekankan amal atau perbuatan baik. Islam adalah agama amal atau kerja, bukan agama wacana atau oral. 

Artikel ini juga menjelaskan bahwa terdapat banyak kasus kekerasan  terhadap perempuan disabilitas di indonesia. Data difabel di Jawa Tengah berdasarkan data Dinsos Jateng ada 177.452 difabel (Solopos, 2016: XII). Sensus penduduk 2010 menunjukkan bahwa, jumlah difabel di atas usia 10 tahun adalah 16.718 orang. Sumber lain dari Kementrian Sosial RI (2009) menyatakan bahwa jumlah total penduduk Indonesia yang difabel sebanyak 1.541.942 orang. Sementara menurut estimasi International Labour Organization (ILO), 10 % jumlah pendudukan Indonesia atau sekitar 24 juta orang merupakan penyandang cacat. Berdasarkan data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2003, Sulawesi Selatan (Sul-Sel) memiliki penduduk difabel tertinggi di Indonesia bagian Timur yaitu 72.900 orang. Bahkan hasil Sensus 2010 masih menempatkan Sul-Sel sebagai provinsi yang memiliki penduduk difabel terbanyak untuk bagian Indonesia Timur. Data jumlah difabel hingga saat ini belum memberikan gambaran yang akurat. Departemen Sosial RI mengeluarkan data 3,11 % tahun 1981, angka Departemen Kesehatan RI 39 %; menurut Badan Pusat Statistik RI Susenas 2003 berjumlah 2.454.359 jiwa, sementara menurut UN ESCAp (2009) jumlah penyandang cacat  tercatat 1.38 % penduduk dengan disabilitas atau sekitar 3.063.000 jiwa. Berdasarkan data Direktor Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial, jumlah penyandang disabilitas tahun 2006 adalah 2.364.232 orang. Sementara itu, Badan Pusat Statistik menyebutkan ada 2,17% penyandang disabilitas yang berusia 10 tahun ke atas, dari 237.641.326 jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 (Muthmainnah, 2014). data Pusdatin Kemensos sampai tahun 2010 jumlah penyandang disabilitas mencapai 11.580.117 orang dari 237 juta jiwa penduduk Indonesia. Sedangkan data kekerasan terhadap perempuan difabel menujukkan trend peningkatan kekerasan dari tahun ke tahun, bahkan dari kabupaten ke kabupaten Sebagai penegasan, pendampingan terhadap anak, Majelis Hukum dan HAM Pimpinan „Aisyiyah Jawa Tengah secara umum mengategorikan sebagai berikut: Anak perempuan difabel korban kekerasan seksual. Pada rentang tahun 2013 hingga 2015, Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah „Aisyiyah Jawa Tengah melakukan pendampingan terhadap anak perempuan difabel korban kekerasan seksual sebanyak 7 kasus dengan spesifikasi berbeda. Dari ketujuh kasus  tersebut yang berhasil menjerat pelaku ada satu kasus, yaitu di PN Sukoharjo, dengan korban tuna rungu dan wicara. Di Surakarta, Klaten, dan Sleman, ketiganya lepas karena kurangnya alat bukti. Saat ini, masih ada dua kasus di PN Sleman dan di Polsek Pakem Sleman Yogyakarta. (Hasil pendampingan Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Tengah, 2018). 

Menurut Kasiyati, pada difabel korban kekerasan seksual, upaya yang dilakukan, antara lain; 1) melakukan sinergitas semua pihak untuk membangun perspektif yang baik dari para aparat penegak hukum agar dapat membantu perempuan difabel korban kekerasan seksual dalam mendapatkan keadilan. Seperti FGD dengan Aparat Penegak hukum, Pendamping dan Masyarakat, Audiensi ke Kementrian Hukum dan HAM, Workshop Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang terkadreditasi dalam pemberian bantuan hukum bersama kakanwil. 2) Mengkapanyekan pemenuhan hak difabel dalam mengakses keadilan. Misalanya: ada petugas hukum khusus yang dilatih untuk menangani persoalan difabel, karena hal ini memang perlu pengetahuan dan penanganan khusus. Penyampaian Aspirasi ke DPRD Provinsi dalam Reses dan masukan untuk raperda dan RUU, diklat. 3) memfatwakan kesaksian difabel dalam pandangan Islam termasuk kesaksian anak terkait dengan diterima dan tidaknya kesaksian tersebut, dimana saksi itu menerangkan tentang suatu perkara pidana yang didengar,  mengenai hukum acara yang lebih lentur bagi para difabel (http://www.lpmkeadilan.com/difabelberhadapan- dengan-hukum.html, 2016). Menurut Kasiyati, untuk difabel korban kekerasan seksual, upaya yang dilakukan, antara lain; 1) melakukan sinergitas semua pihak untuk membangun perspektif yang baik dari para aparat penegak hukum agar dapat membantu perempuan difabel korban kekerasan seksual dalam mendapatkan keadilan. Seperti FGD dengan Aparat Penegak hukum, Pendamping dan Masyarakat, Audiensi ke Kementrian Hukum dan HAM, Workshop Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang terkadreditasi dalam pemberian bantuan hukum bersama kakanwil. 2) Mengkapanyekan pemenuhan hak difabel dalam mengakses keadilan. Misalanya: ada petugas hukum khusus yang dilatih untuk menangani persoalan difabel, karena hal ini memang perlu pengetahuan dan penanganan khusus. Penyampaian Aspirasi ke DPRD Provinsi dalam Reses dan masukan untuk raperda dan RUU, diklat. 3) memfatwakan kesaksian difabel dalam pandangan Islam termasuk kesaksian anak terkait dengan diterima dan tidaknya kesaksian tersebut, dimana saksi itu menerangkan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri (wawancara Kasiyati, 2016). Kajian Putusan Nomor 244/Pid 2013/P.T.Smg, bahwa kepolisian dan kejaksaan masih tertatih dan kurang memperhatikan hak-hak korban. Perlindungan terhadap korban sebagaimana yang tertera pada UndangUndang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban masih banyak yang belum terpenuhi, selain karena keterbatan ahli, dan juga tidak semua jenis perlindungan dapat dikontekstualisasikan pada kasus yang korbannya seorang difabel. UndangUndang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Person with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) pada kenyataan telah dirasakan di lapangan belum mengatur secara detail, hanya secara garis besar saja, semua hak-hak disabilitas memang sudah tertuang di Convensi tersebut, namun ironisnya belum ada implementasi yang nyata (Alfian, 2015: 557-570).

menurut pengarang artikel tersebut yaitu julijanto, saat ini belum ada ketentuan yang mengatur pemberlakuan peradilan anak bagi mereka yang mengalami disabilitas mental atau intelektual. Di dalam kasus sebagaiman putusan Nomor 244/Pid 2013/P.T.Smg, korban adalah difabel, dan seharusnya korban mendapatkan seorang ahli baik psikologi maupun dokter. Namun, pada kenyataannya, yang mendorong untuk dihadirkannya para ahli supaya dapat diperiksa secara psikologi maupun medis, justru inisiatif dari pendamping bahkan biayajuga ditanggung oleh pendamping, sedangkan kepolisian hanya menanggung biasa visum saja. Faktor lain yang mempengaruhi proses hukum adalah ketidakstabilan penyandang tuna grahita, sehingga menjadi hambatan dalam pengusutan kasus kekerasan. Keterangan yang berubah-ubah setiap saat, sehingga dianggap tidak sah menurut hukum, meskipun mereka benar-benar menjadi korban tindak kekerasan. Pemahaman dan pemaknaan setiap orang yang berbeda, demikian juga dalam penegakkan hukum, dimana antar aparatur penegak hukum mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam melihat suatu kasus, tergantung dari perspektif yang dibangun,, pendekatan yang digunakan serta landasan hukum yang menjadi alat untuk memberikan justifikasi. Oleh karena itu, membangun perspektif yang sama dalam penegakan hukum sangat dibutuhkan, sehingga akan ada sinergi yang baik dari penegak hukum(hakim, jaksa, polisi, dan advokat atau pengacara) dalam penegakan hukum khususnya dalam menangani, kasus difabel yang berhadapan hukum. 

Pada Artikel ini mejelaskan Kaum difabel adalah warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupan sosial, dia harus diperlakukan sebagaimana orang yang normal, sehingga harus mendapatkan akses yang sama sebagaimana orang normal. Selama ini pemahaman terhadap difabel dianggap sebagai orang yang tidak mampu, sering mendapatkan diskriminasi, bahkan mempunyai persepsi yang negatif. Pada hal setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama, sebagaimana hak warga negara yang lain. 

Menurut Jessica, kaum difabel di Indonesia, yang berjumlah 20 juta penduduk mangalami kehidupan yang sulit, diman mereka sering dipandang sebelah mata dan dipandang rendah. Menurut kepercayaan yang ada di Indonesia, cacat dikaitkan dengan sihir dan supernatural sebagai akibat masa lalu yang buruk dari keluarga. Kebanyakan orang difabel hidup dalam kemiskinan karena mereka tidak mempunyai kesempataan yang sama seperti orang normal. Orang yang tidak cacat menganggap bahwa kaum difabel tidak mempunyai kemampuan (Lock, 2012: 7-8). Mereka dianggap tidak bisa bekerja, tidak berpendidikan, tidak bisa belajar, tidak bisa naik transportasi, tidak bisa mandiri, selalu perlu bantuan, dan anggapan bahwa semua kaum difabel menderita cacat parah (Triyono, 2013: 54- 60). 

kesimpulan yang bisa kita ambil dari artikel ini bahwa ketika Kesimpulan Perempuan difabel yang berhadapan dengan hokum, sebagian besar terkait kasus kekerasan seksual. Kendala yang terjadi dilapangan terkait penanganan kasus difabel, antara lain: para penegak hokum belum mempunyai pemahaman yang maksimal terhadap difabel, baik varian maupun kekhususan dalam perilakunya; 2) akses terbatas; 3) bukti terbatas: 4) kesulitan komunikasi ; 5) masyarakat tidak mau menjadi saksi; 6) lamanya proses hukum ; 7) minimnya pengetahuan tentang hukum; 8) di kepolisian, tidak ada pendampingan saat pemeriksaan, ruang pemeriksaan tidak mudah diakses, dan minimnya informasi untuk korban; 9) jaksa tidak memberi informasi jika berkas sudah dilimpahkan; 10) hakim kesulitan berkomunikasi.  Oleh karena itu, aparat penegak  hukum perlu memiliki kesadaran yang sama  terhadap penyandang disabilitas karena mereka berbeda dengan orang normal. Di sisi lain, upaya harus dilakukan untuk memastikan bahwa mereka menikmati kesetaraan di hadapan hukum melalui  penerapan hukum acara yang lebih fleksibel kepada penyandang disabilitas yang bersentuhan dengan hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun