[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Megawati menunjukkan surat mandat kepada Joko Widodo menjadi capres yang dia tulis tangan. (TWITTER PDI PERJUANGAN)"][/caption]
OLEH: Khoeri Abdul Muid
Barangkali bagian dari kepedulian sebagai warga negara yang relatif signifikan mengamati konstalasi peta politik Indonesia update, termasuk analisis-analisis ilmiah yang netral obyektif dari sekian bakal calon presiden dan calon legislatif beserta program-program serta sepak-terjangnya yang kelak akan berlaga ---terlepas dari takdirkan siapa jadi legislator dan presiden RI pada Pilleg dan Pilpres 2014 ini.
Secara ilmiah cukup menarik memperhatikan pernyataan ahli komunikasi politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing terkait dengan pencapresan Jokowi oleh Megawati yang dituangkan dalam Surat Perintah Empat Belas Maret (SUPER EMAR) 2014 yang memberikan mandat untuk menjadi calon presiden.
Oleh Emrus, oleh karena hanya berupa mandat maka dinilai pencalonan Jokowi bukanlah keputusan tetap. Artinya, “(karena sifat) mandat itu sangat dinamis, bisa saja Jokowi menyerahkan mandat itu atau (sebaliknya) Megawati menarik mandat tersebut,” kata Emrus dalam diskusi di Hotel Gran Melia Jakarta (31/3/2014—Tribun.com).
Lebih lanjut beliau menyarankan seharusnya PDIP sesuai dengan AD/ART-nya memutuskan pencalonan Jokowi sebagai capres melalui Surat Keputusan (SK) yang ditandatangani oleh Ketum dan Sekjen Partai.
Pertanyaannya adalah apa bedanya Super dan SK? Kalau Super menghasilkan mandat lalu SK berkonsekuensi apa? Bagaimana kalau dibandingkan dengan istilah mandat dalam penjelasan UUD 1945 praamandemen yang mengatakan bahwa Presiden adalah mandataris MPR?
Jika Super Emar 2014 Megawati yang memandatkan Jokowi tersebut tetap dipertahankan apakah jika (sekali lagi jika) Jokowi terpilih sebagai presiden apakah Jokowi disamping sebagai Presiden RI juga dapat dikatakan sebagai mandataris Ketum Partai (mandataris Megawati)?
PROBLEMA MANDAT
Sudut pandang yang digunakan oleh Emrus adalah hukum administrasi negara khususnya bab sumber-sumber kewenangan. Dan, bagaimana kalau asas-asas hukum administrasi negara diterapkan dalam partai politik? Apakah parpol cukup tepat dikategorikan sebagai unsur inti terbentuknya lembaga negara?
Menurut saya, saran antisipatif dari kemungkinan munculnya problem hukum sebagaimana dikhawatirkan Emrus tersebut perlu betul-betul diperhatikan oleh PDIP bahkan oleh semua parpol yang mencapreskan diri. Sebab, masalah sumber kewenangan ini dalam praktek akan banyak menimbulkan kasus administrasi pemerintahan, bahkan masuk dalam wilayah pidana, antara lain dengan rumusan penyalahgunaan wewenang.
.
Dalam hukum administrasi negara dikenal bahwa sumber wewenang pemerintahan (organisasi) yang bersumber dari peraturan perundang-undangan (keputusan-keputusan organisasi) diperoleh melalui cara-cara atribusi, delegasi dan mandat.
ATRIBUSI
Atribusi terjadinya pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
DELEGASI
Pada delegasi, terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau jabatan tata usaha negara yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau jabatan tata usaha negara lainnya. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang.
Sementara itu pengertian mandat dalam asas-asas Hukum Administrasi Negara berbeda dengan pengertian mandataris dalam konstruksi mandataris menurut penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan (Totok Soeprijanto).
Menurut penjelasan UUD 1945 Presiden yang diangkat oleh MPR, tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Presiden adalah mandataris dari MPR, dan wajib menjalankan putusan MPR. Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi.
Dalam Hukum Administrasi Negara mandat diartikan sebagai perintah untuk melaksanakan atasan; kewenangan dapat sewaktu-waktu dilaksanakan oleh pemberi mandat, dan tidak terjadi peralihan tanggung jawab.
Philipus M Hadjon membuat perbedaan antara delegasi dan mandat. Dalam hal delegasi mengenai prosedur pelimpahannya berasal dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan yang lainnya dengan peraturan perundang-undangan, dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih ke delegataris.
Pemberi delegasi tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi, kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang dengan asas ”contrarius actus”. Artinya, setiap perobahan, pencabutan suatu peraturan pelaksanaan perundang-undangan, dilakukan oleh pejabat yang menetapkan peraturan dimaksud, dan dilakukan dengan peraturan yang setaraf atau yang lebih tinggi.
Dalam hal mandat, prosedur pelimpahan dalam rangka hubungan atasan bawahan yang bersifat rutin. Adapun tanggung jawab dan tanggung gugat tetap pada pemberi mandat. Setiap saat pemberi mandat dapat menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan itu (Philipus M Hadjon, 1994).
Dalam perspektif teori-teori tersebut dalam proses pencapresan Jokowi semestinya Megawati berpijak pada ranah bukan mandat. Sebab, sebagaimana dikemukakan di atas bahwa dengan langkah itu Megawati akan terhindar dari problem hukum. Dan, yang lebih penting dari itu adalah urgen kiranya untuk menjawab kecurigaan bahwa Jokowi bukan sebagai capres boneka, bukan boneka Megawati.
Itulah masukan dari sudut ilmiah soal mandat. Trims.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI