Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

Sebelum diangkat menjadi abdi negeri, pernah mengajar di SMA TARUNA NUSANTARA MEGELANG. Sekarang mengguru di SDN Kuryokalangan 01, Dinas Pendidikan Kabupaten Pati Jawa Tengah, UPTKecamatan Gabus. Sebagian tulisan telah dibukukan. Antara lain: OPINI GRASSROOT SOAL PENDIDIKAN GRES; Si Playboy Jayanegara dan Bre Wirabhumi yang Terpancung. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id. HP (maaf SMS doeloe): 081226057173.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menyekolahi Anak Soal Pornografi

23 Januari 2014   20:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:32 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Oleh: Khoeri Abdul Muid

Adalah Catherine Itzin, ilmuawan dari University of Bradford berkonsklusi bahwa pornografi yang menurut asal katanya, porne dan graphos (bahasa Yunani Kuno) yang berarti 'tulisan tentang wanita pelacur' itu, merupakan problem klasik multiperspektif dan masih saja debatebel.

Fenomena debateble ini menurut tradisi keilmuwan biasanya diambil hikmahnya, yakni justru diperlukan untuk memperkaya khasanah suatu konsep, yang sejatinya mencerminkan kesempitan ilmu manusia dalam kerangka kemahaluasan ilmu Tuhan yang Maha 'Alim.

Namun, eskalasi debatebelitas UU 44/2008 soal pornografi yang memang “konaks” semenjak proses pengesahannya, terlebih-lebih lagi jika menyentuh substansi dari makhluk yang bernama pornografi yang sampai saat ini belum ada PP-nya (?) itu, justru menyebabkannya tidak mendapat legitimasi yang luas dari subyek hukum dan karenanya juga tidak berlaku efektif.

SALAH KONSEP

Oleh UU, pornografi dikonsepsikan sebagai gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Bahkan tak kurang juga Gus Dur yang cucu ulama’ besar KH. Hasyim Asy’ari itu mengontranya. Katanya, jika substansinya semacam itu, Al Qur’an-pun dan kitab-kitab fiqih juga kena UU Pornografi lantaran juga “menulis” tentang sex. Karenanya UU pornografi itu tidak penting dan tidak perlu. Toh di masyarakat sudah ada norma soal itu yang telah teruji efektif oleh sejarah. Dan, oleh agama sudah diatur lengkap, misalnya soal maksiyat, walatakrobuzzina dan zina itu sendiri.

Pun, secara diametral, UU ini toh akhirnya juga mengatur pasal pengecualiaan sebagaimana dalam pasal 14 bahwa, ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Itu artinya, bilakah gambar/foto alat kelamin, misalnya, digunakan sebagai alat peraga di dalam kelas yang pada dasarnya juga “ruang publik”? Atau, bahkan bilakah film porno digunakan sebagai contoh budaya amoral dalam kuliah filsafat moral, misalnya? Itu boleh, sepanjang sesuai dengan Peraturan Pemerintah yang akan dibuat. Artinya, pasal pengecualian itu sama halnya dengan menggerinda gigi sendiri. Untuk apa UU disusun yang notabene menelan anggaran yang tidak sedikit itu jika tidak mampu mengaplikasikannya secara berdaya guna? Hmm.

Kontrol urusan menyekolahi anak (peserta didik) tentang pornografi sebagaimana dilakukan oleh norma masyarakat atau agama itu sudah lazim dilakukan. Yang tidak layak tentu akan diteriaki atau setidaknya sedikit demi sedikit akan dijauhi atau ditinggalkan. Jikapun ada trend kegandrungan masyarakat pada kemaksyiyatan, tentulah fakta empirisnya selama ini hanyalah bersifat temporal, setelah itu akan “dihukum” oleh mayarakat itu sendiri.

Sebagaimana fenomena yang dilansir Suara Karya OL, Sabtu, 14 September 2013. Belakangan orang tua siswa protes terhadap buku pelajaran Sekolah Dasar yang bergambar alat kelamin perempuan dan laki-laki. Buku itu terlalu vulgar dalam membahas alat kelamin untuk level anak SD dinilai oleh orang tua tidak pantas.

Orang tua murid menyatakan buku itu sangat tidak pantas dibaca anak-anak. Seperti ada bagian yang topiknya "Menjaga Alat Kebersihan Reproduksi" dengan memunculkan pertanyaan seperti, "Apa nama alat kelamin pria?", "Apa nama alat kelamin wanita?" "Sperma dikeluarkan alat kelamin apa?" "Jika pria dan wanita berhubungan, reaksi apa yang terjadi pada wanita?"

Katanya, menyimak pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam bahasan buku tersebut, apakah seperti itu pelajaran untuk anak usia di bawah 12 atau 13 tahun? Apakah tidak ada pelajaran yang lebih sesuai untuk pendidikan anak ketimbang menanyakan "pekerjaan" suami isteri pada anak yang belum tahu sama sekali arti suami isteri?

Hmm. Apa doeloe, penyusunan UU itu tidak terlepas juga dari politik pencitraan Parpol tertentu? Yap. Panjang memang berbicara pornografi...he he he....***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun