Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menghitung Serunya Duel Koalisi Pilpres

15 Mei 2014   13:16 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:30 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Sampai saat ini, koalisi ---sebagai keniscayaan pilpres 2014 karena ketiadaan satu partai manapun yang secara single mendapatkan presidential threshold, sudah mulai resmi terbentuk. PDIP dengan jago Jokowi telah mendeklarasikan koalisinya dengan Nasdem dan PKB, kemarin (14/5) di Lenteng Agung.

Sementara itu Gerindra yang mengusung Prabowo, meski belum mendeklarasikan koalisinya secara bersama-sama dengan partai-partai koleganya sebagaimana PDIP-Nasdem-PKB, tetapi P3 dan PAN sudah secara resmi mendeklarasikan bergabung dengannya.

PKS, juga PD, Golkar dan Hanura belum secara resmi berlabuh pada koalisi Jokowi atau Prabowo atau mungkin membuat posros tersendiri. PKS yang sebelumnya pernah menyampaikan akan berkoalisi dengan Gerindra, hingga kini secara organisasi belum mendeklarasikan arah koalisinya itu.

PD masih anteng saja, meski, kemarin lusa dan kemarin hari (13,14/5) SBY baik selaku Ketua Umum PD maupun sebagai presiden, berturut-turut telah menerima Prabowo-Hatta Rajasa, ARB, meski saya sendiri yakin, SBY akan mendukung besannya jika benar Hatta diusung cawapres Prabowo.

Sebab, belakangan, kesanteran kabar bahwa SBY hendak membuat poros ketiga dengan mengusung Sri Sultan HB X sebagai capres lantaran survey ter-update Sultan merupakan kuda hitam terbaik yang diyakini akan mampu menyalip Jokowi maupun Prabowo di lap-lap akhir, kini berdasar jadwal tahapan pemilu KPU dan regulasi yang ada, prosedur izin pencapresan Sultan yang gubernur itu sudah terlambat, terkecuali, KPU merubah jadwal atau Presiden mengeluarkan Perpu (demi kepentingan demokrasi, barangkali).

Golkar, tampaknya masih bingung, karena dalam dua hari ini ARB begitu cepat berdinamika. ARB yang sebelumnya saling kunjung dengan Prabowo, kemarin lusa malah blusukan ke pasar bersama Jokowi, meski kemarin ARB segera menetralisir suasana dengan menemui SBY dan pada hari yang sama pula menerima kunjungan Prabowo, kemudian disusul Wiranto.

Wiranto dengan Hanuranya setelah pada suatu acara seremonial beberapa hari yang lalu satu meja dengan Megawati, tapi kemarin berkunjung ke ARB Tower, juga menampakkannya hingga kini belum hendak berlabuh.

DUEL YANG SERU

Jika diasumsikan koalisi pilpres ini pada akhirnya mengerucut pada dua poros, yakni poros Jokowi dan poros Prabowo, maka dipastikan akan terjadi duel yang seimbang oleh karenanya diprediksi seru. Sebab, masing-masing memiliki genre partai yang sama, yakni partai nasionalis dan partai agama (Islam).

Oleh karenanya bisa digambarkan bahwa dalam duel seru itu Banteng Hitam dan Roda Restorasi akan seru bertarung mengeroyok Garuda Emas di daerah jelajah partai nasionalis. Sementara itu di ring partai Islam, Bola Dunia akan giliran dikeroyok juga oleh Sinar Mentari-Baitullah serta mungkin juga oleh Pedang Keadilan dan Kesejahteraan.

Kemudian, bagaimana dengan yang lain?

Beringin, Segitiga Merzi dan Spektrum Hanura jika jadi bersatu ataupun bila harus terbelah dan saling berhadapan makajuga akan makin meramaikan kompetisi, khususnya di wilayah basis konstituent partai-partai nasionalis.

Lalu, bagaimanakah kira-kira hitung-hitungan real duel itu akan terjadi?

Sebagaimana diketahui, pada pilpres Juli mendatang, DPT (Daftar Pemilih Tetap) ---yang notabene tidak terlalu seatle ini--- diperkirakan mencapai 189,8 juta. Angka ini berasal dari DPT pileg lalu yang 185,8 juta ditambah pemilih pemula karena faktor usia yang sekitar 4 jutaan.

Berbanding lurus dengan agama penduduk Indonesia, maka dapat dikatakan sekitar 85%konstituent pilpres ialah muslim dan 15% -nya non-muslim.

Lebih lanjut, konstituent muslim yang mencapai 85% ini terdiri dari 33% -nya atau dalam konstelasi konstitent keseluruhan (muslim dan non-muslim) = 28% merupakan kaum nahdliyyin (NU=Nahdlotul ‘Ulama’) ---ibu kandung PKB dan sebagian tempat berpijak P3 pula.

Kemudian, 27% dari 85% itu atau dalam rasio konstituent keseluruhan =23% itu ialah warga Muhammadiyah ---pelahir PAN dan juga dekat dengan keberadaan PKS (Muhammdiyah militan?) serta tempat sebagian ulama P3 berada juga.

Dan, sisanya, 40% dari 85% itu atau dalam koridor konstituent seluruhnya = 34% itu bisa jadi merupakan wilayah jelajah bersama antara partai-partai Islam (PKB-PAN-PKS-P3-PBB) dan juga partai-partai nasionalis.

Sementara itu, 15% konstituent non-muslim pastinya bukan mengarah ke partai-partai Islam tetapi condong ke partai-partai nasionalis, terutama mungkin ke PDIP karena faktor sejarah fusi PDI dan juga faktor emosional Soekarno dan Bali yang Hindu-Budha itu.

Pertanyaannya, seberapa besar mesin partai bisa bergerak mengeksplor daerah jelajahnya masing-masing sehingga setidaknya mampu melampaui perolehan suaranya dalam pileg?

DUEL PARTAI ISLAM

Duel antar partai Islam dalam pilpres mendatang rupanya tak terhindari, lantaran masing-masing kubu, baik Jokowi ataupun Prabowo berkolega dengan partai Islam. Jokowi menggandeng PKB dan Prabowo merangkul PAN-PKS-P3. (Sementara PBB yang tidak lolos parlementary threshold hingga kini belum jelas pelabuhannya).

Pertama, PKB yang kolega PDIP ini, memiliki daerah jelajah spesial warga NU sebesar 28% dan warga ormas Islam lainnya, termasuk Islam abangan yang mencapai 34% itu, pada pileg lalu baru tergarap 9,04% dalam rasio DPT atau pada konteks NU 32%. Ini artinya, setidaknya masih ada 68% nahdliyyin yang belum dieksplor oleh PKB dan potensial dilakukannya pada pilpres nanti.

Memang, dalam ring tersebut PKB harus berkompetisi dengan rival serumahnya: P3, atau bahkan dengan pihak internalnya sendiri yakni friksi Gusdurian yang anti PKB-nya Cak Imin dan juga kekecewaan ABRI (Anggota Barisan Rhoma Irama) dan belum lagi, serangan dari partai-partai nasionalis kubu Prabowo, mungkin juga termasuk PD yang saat ini hampir tidak bisa pisah dengan PAN, besannya.

Oleh karenanya, pada wilayah pantura Jawa yang notabene basis NU ini diperkirakan akan terjadi duel heboh PKB dalam pilpres mendatang.

Kedua, PAN-PKS yang memiliki daerah jelajah yang hampir sama, yakni warga Muhammadiyah yang berjumlah 23% dari total konstituent danwarga ormasl Islam lainnya, termasuk Islam abangan yang mencapai 34% yang sesekali dibuntuti pula P3 itu, perlu melakukan harmonisasi dan kebersamaan dalam menggelar aksi simpati. Sebab, ketiga partai ini tampaknya jadi berkoalisi mendukung Prabowo.

Pada pileg kemarin, PAN baru mampu mendulang suara 7,19% dan PKS 6,7%. Dan, jika diasumsikan itu suara bersumber dari Muhammadiyah maka suara Muhammadiyah yang belum tereksplor oleh PAN-PKS masih sekitar 60%.

Klimaks panggung duel trio PAN-PKS-P3ini kemungkinan terjadi di DIY dan sekitarnya sebagai pusat Muhammadiyah melawan partai-partai nasionalis kubu Jokowi, ---PDIP, Nasdem atau bahkan mungkin Golkar (?) yang punya Soeharto effect (iseh penak jamanku, to?) itu.

DUEL PARTAI NASIONALIS

Meski daerah jelajahnya tak seluaspartai-partai nasionalis namun patai Islam memiliki konstituent spesial ---sebagaimana dikemukakan di atas, yang karenanya relatif fanatik (loyal). Tapi bagaimana dengan pertarungan antar partai nasionalis, yang untuk sementara, berkontestan PDIP-Nasdem vs Gerindra?

Secara matematis, berdasar perolehan suara pileg kemarin PDIP-Nasdem jelas memimpin dengan 18,95% dan 6,7%. Sementara itu Gerindra yang sementara ini single dalam ajang partai nasionalis, hanya memiliki 11,81%.

Namun perlu di catat bahwa pertarungan kedua kubu partai nasionalis ini tidak terlepas dari Jokowi dan Prabowo effect sebagai kandidat yang diusungnya yang dalam lima bulan terakhir, elektabilitas Jokowi menjunjukkan kecenderungan turun yang konsisten. Dan, sebaliknya, elektabilitas Prabowo justru menunjukkan kecenderungan naik secara konsisten.

Pertanyaannya adalah, mampukah citra PDIP yang punya Soekarno effect danwong cilik effect ini menandingi trend meroketnya elektabilitas Prabowo bersama Gerindra-nya itu, sehingga mampu mencegah kemerosotan elektabilitas Jokowi?

Wallohu’alam. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun