sumber ilustrasi: sekolahkuunik.blogspot.com
OLEH: Khoeri Abdul Muid
Materi pelajaran sejarah sebagai bagian dari Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) memiliki tingkat kerelatifan yang lebih besar dibandingkan dengan pelajaran-pelajaran pada rumpun Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
Oleh karena itu ada benarnya bila IPA selama ini dikenal sebagai ilmu pasti, sementara IPS, bukan ilmu pasti.
Mengapa demikian?
Ialah tak lepas dari obyek kajian IPS, yang berupa manusia, baik dalam konteks lingkungan fisik maupun sosialnya (Nasution (1975) dalam Astuti dkk. (2009: 2). Yang notabene makhluk rumit dan multi dimensi.
Dan, sejarah, sebagaimana disebut dalam al-Muqoddimah Ibnu Khaldun (1332-1406) dalam Syafi’i Maarif (1997: 2) memiliki dua sisi, yakni sisi luar dan sisi dalam.
Sisi luar, sejarah itu tidak lebih daripada perputaran kekuasaan yang silih berganti pada masa lampau. Namun pada sisi dalamnya, sejarah adalah suatu penalaran kritis (nazar) dan kerja yang cermat untuk mencari kebenaran. Suatu penjelasan yang cerdas tentang sebab-sebab dan asal-usul segala sesuatu. Suatu pengetahuan yang mendalam tentang bagaimana dan mengapa peristiwa-peristiwa itu terjadi.
Dampak dari karakteristik tersebut antara lain menjadikan pelajaran sejarah, pada satu sisi, sebagai pelajaran yang banyak berdimensi ingatan (hafalan) yang begitu luas. Dan, pada sisi lain, merupakan pelajaran yang berkajian sangat mendalam.
Sehingga penggunaan metode ceramah pada pembelajaran sejarah ---terlepas dari justifikasi banyak pihak sebagai metode konvensional atau kuno, tetapi masih saja merupakan pilihan yang relative rasional.
Namun demikian penerapan metode ceramah unsich tentu bukan merupakan pilihan bijak. Karena ia pada umumnya ternyata menjadikan aktivitas dan hasil belajar yang relative rendah.