OLEH: Khoeri Abdul Muid
Ponco:Â "Kak Silo, kemarin aku baca artikel tentang filosofi kelas dan permasalahan tinggal kelas. Menurut Kakak, apa sih filosofi kelas itu dan kenapa bisa muncul istilah 'tinggal kelas' dalam pendidikan?"
Silo:Â "Bagus sekali pertanyaannya, Ponco. Filosofi kelas sebenarnya berakar dari pemahaman bahwa setiap individu memiliki perbedaan yang unik, seperti pepatah Jawa, 'papak ora padha.' Ini artinya, kita harus menerima keberagaman individu dengan syukur dan menghargai perbedaan masing-masing."
Ponco:Â "Oh, berarti ini seperti mengakui bahwa setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda-beda ya, Kak?"
Silo:Â "Betul. John Locke menyatakan bahwa Tuhan memberikan karunia kepada setiap manusia, dan yang membedakan adalah bagaimana kita memanfaatkan hidup dengan rasional. Nah, dalam pendidikan, perbedaan ini seringkali mencerminkan latar belakang ekonomi, budaya, dan lingkungan siswa."
Ponco:Â "Kalau tinggal kelas sendiri, Kak? Itu kan sering bikin banyak kontroversi di sekolah kita."
Silo:Â "Iya. Konsep tinggal kelas adalah kebijakan yang memisahkan siswa berdasarkan hasil belajar mereka. Tapi ada kritik yang menyebut ini bisa diskriminatif dan memberikan stigma negatif kepada siswa. Di negara lain seperti Finlandia, mereka tidak menerapkan tinggal kelas, tetapi metode intervensi pendidikan yang inklusif."
Ponco:Â "Kalau di Indonesia, Kak, bagaimana?"
Silo:Â "Di Indonesia, kebijakan tinggal kelas masih menjadi salah satu solusi untuk mengatasi kesenjangan pendidikan. Namun, ini bertentangan dengan filosofi lokal kita yang menekankan papak ora padha atau menerima keberagaman tanpa membedakan. Oleh karena itu, kita perlu fleksibilitas dalam metode pengajaran dan alternatif lain seperti SKS (Sistem Kredit Semester)."
Ponco:Â "SKS itu seperti fleksibilitas belajar ya, Kak?"