Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. REDAKTUR Penerbit dan mitra jurnal ilmiah terakreditasi SINTA: Media Didaktik Indonesia [MDI]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Api Semangat

16 Desember 2024   19:26 Diperbarui: 16 Desember 2024   19:26 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Api Semangat. dokpri

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Hujan mengguyur deras malam itu, memantulkan cahaya lampu jalan yang buram. Di sebuah kamar kecil di sudut gang sempit, Awan terduduk di kursi reyot sambil menatap kertas-kertas berserakan di atas meja. Matanya merah, napasnya berat. Ia baru saja menerima surat pemberhentian kerja dari pabrik yang menjadi sandarannya selama lima tahun terakhir.

"Bagaimana aku bisa bayar sewa bulan ini?" gumamnya, suaranya parau. Di ranjang kecil, ibunya terbaring lemah dengan selang infus dari botol bekas menggantung di dinding. Penyakit paru-parunya semakin parah, dan obat-obatan kian sulit terbeli.

"Nak, jangan menyerah..." suara ibunya terdengar pelan.

Awan menoleh, mendapati senyum tipis di wajah tua yang penuh garis penderitaan itu. "Bu, aku sudah mencoba. Tapi semua terasa sia-sia. Dunia ini terlalu kejam."

Wanita itu menatapnya dengan sorot mata yang tetap tajam meskipun tubuhnya rapuh. "Nak, kejamnya dunia bukan alasan untuk menyerah. Kalau kau menyerah, kau pecundang. Kau lupa cerita tentang bapakmu? Dia bertarung sampai napas terakhir demi kita."

Awan terdiam, hatinya sesak. Di tengah keputusasaan, ingatan tentang ayahnya justru membakar luka lama. Saat itu, ketukan keras di pintu membuat keduanya terdiam.

Awan membuka pintu dengan ragu, hanya untuk menemukan pria berbadan tegap dengan wajah dingin. Di tangannya, ada amplop lusuh.

"Tiga hari. Kalau kau tak bayar, tahu akibatnya," ancam pria itu, sebelum melempar amplop ke lantai dan pergi tanpa menunggu jawaban.

Awan memungut amplop itu dengan tangan gemetar. Isinya jelas: ancaman dari rentenir yang ia datangi beberapa bulan lalu demi biaya pengobatan ibunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun