Saat malam tiba, Yori pulang dengan tubuh kuyup dan kantong kosong. Dia melempar tas bento ke lantai sambil berteriak, "Ibu, ini tidak adil! Kenapa dunia ini begitu kejam?"
Aiko, meski lemah, menatapnya dengan pandangan tajam. "Yori, dunia tidak kejam. Dunia hanya terus berputar. Kamu yang harus belajar bertahan, atau kamu akan tergilas."
Beberapa hari kemudian, Aiko meninggal dunia. Yori merasa seluruh dunianya runtuh. Tak ada lagi orang yang menyiapkan makanannya, tak ada lagi yang menutupinya saat dia malas bekerja. Tabungan mereka menipis, dan akhirnya habis.
Yori mencoba mencari pekerjaan, tetapi kota kecil itu tak memberikan ampun. Pekerjaan kasar di pelabuhan dan pasar membuat tangannya lecet dan tubuhnya nyaris remuk. Suatu hari, dia mencoba melamar pekerjaan di kantor kecil, tetapi ditolak mentah-mentah karena tidak punya keahlian.
"Orang malas tidak punya tempat di kota ini," ujar manajer toko itu dengan dingin.
Malam itu, di dalam rumah yang kini terasa dingin dan kosong, Yori menatap bento terakhir yang pernah dibuat ibunya. Dia menangis, menyesali semua kemalasannya.
"Bu, aku lapar... Aku ingin berhenti merasa lapar..."
Di sela tangisannya, suara ibunya terasa bergema di pikirannya. "Kamu harus berlari, Yori. Dunia tidak berhenti menunggu. Pilihannya cuma dua: bangkit atau kalah."
Esoknya, dengan tekad yang baru, Yori bangkit. Dia mulai bekerja sebagai tukang cuci piring di warung kecil, menerima upah yang sedikit tetapi cukup untuk membeli nasi dan telur. Dari situ, dia belajar memasak sendiri. Dengan perlahan, dia mulai membuat bento sendiri, teringat rasa dan aroma bento buatan ibunya.
Lama-kelamaan, bento buatan Yori mulai dikenal. Dia membuka lapak kecil di stasiun, tempat para pekerja berkerumun membeli bentonya setiap pagi. Tangannya yang dulu lembut kini penuh kapalan, tetapi dia merasa bangga.
Satu hari, seorang pelanggan tetap bertanya, "Yori, kenapa kamu begitu gigih bekerja?"