OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah kota kecil yang berkelok di pinggir bukit, hiduplah seorang remaja bernama Yori. Kota itu adalah tempat yang hiruk-pikuk di siang hari, tetapi sepi mencekam saat malam datang. Yori tinggal bersama ibunya, Aiko, di sebuah rumah sederhana di gang sempit, tempat suara lonceng sepeda dan langkah kaki terdengar hampir tanpa henti. Aiko adalah penjual bento keliling. Setiap pagi sebelum fajar, dia menyiapkan bento, lalu menjualnya ke pekerja kantoran dan tukang bangunan.
Berbeda dengan ibunya yang rajin, Yori adalah anak yang malas. Dia lebih suka tidur, bermain ponsel, dan bermimpi besar tanpa mau berusaha.
"Yori, bantu ibu membawa bento ke stasiun pagi ini. Pelanggan kita bertambah banyak," pinta Aiko suatu pagi sambil mengecek termos teh.
Yori mendengus sambil membalik badan di kasur. "Ah, Ibu, aku masih ngantuk. Lagipula, buat apa repot-repot? Kita kan masih bisa makan."
Aiko menatap anaknya dengan kelelahan, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Dalam hatinya, dia tahu roda kehidupan akan mengajari Yori dengan caranya sendiri.
Hujan deras mengguyur kota. Hari itu, Aiko jatuh sakit. Tubuhnya demam, dan dia tak mampu bangun dari tempat tidur. Bento-bento yang biasa laris terjual kini dibiarkan di atas meja, dingin dan tak tersentuh. Yori merasa bingung.
"Ibu, istirahat saja. Aku akan menggantikan Ibu menjual bento hari ini," katanya akhirnya, dengan nada ragu.
Aiko hanya mengangguk, tetapi bibirnya tersenyum samar.
Yori memulai hari pertamanya sebagai penjual bento keliling. Dia berjalan di tengah gang-gang sempit dengan hujan yang mengguyur tanpa ampun. Teriakannya menawarkan bento tenggelam oleh suara mesin dan klakson mobil. Dia merasa malu ketika orang-orang menatapnya sinis atau menolak mentah-mentah. Bento-bento itu tetap penuh, sementara perut Yori sendiri mulai keroncongan.