Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. REDAKTUR Penerbit dan mitra jurnal ilmiah terakreditasi SINTA: Media Didaktik Indonesia [MDI]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kampung Emas

14 Desember 2024   17:36 Diperbarui: 14 Desember 2024   17:36 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Kampung Emas. dokpri

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Rinai hujan turun perlahan di Kampung Emas Iroyudan, Guwosari, Pajangan. Namun, suasana tetap hidup. Di bawah langit kelabu yang terasa romantis, deretan lansia mengenakan baju adat Jawa dengan selendang batik berwarna emas berbaris rapi. Dalam genggaman mereka, alat musik angklung siap berbunyi menghidupkan hari bersejarah ini.

"Siap, simbah-simbah? Kita mulai, ya!" ujar Bu Tati, koordinator lansia sekaligus pencetus ide permainan angklung ini.

"Siap, Bu!" seru mereka serentak, membuat suasana menjadi riuh semangat.

Ketika angklung mulai berbunyi, dentingnya membawa kehangatan di tengah hujan. Nada-nada manis melantun dari tangan-tangan renta yang gesit, menciptakan harmoni luar biasa. Semua tamu, termasuk sang Rektor Universitas Bantul yang datang untuk meresmikan laboratorium kampus di kampung ini, terpukau.

"Hebat, luar biasa! Ini sungguh indah," ujar Rektor sambil bertepuk tangan.

Acara dilanjutkan dengan penandatanganan prasasti, sebuah momen simbolis yang mengikat kampus dan masyarakat dalam sebuah sinergi. Kini, Kampung Emas Iroyudan resmi menjadi mitra universitas dalam mengembangkan inovasi berbasis pemberdayaan masyarakat.

Namun, di tengah kemeriahan itu, seorang pemuda berperawakan kurus dengan jaket lusuh berdiri di sudut. Tatapannya tajam, menyapu para tamu yang sibuk memuji-muji angklung.

"Itu semua basa-basi. Apa mereka tahu bagaimana sulitnya kami bertahan di sini?" gumamnya dengan getir.

Pemuda itu bernama Reno, salah satu warga Iroyudan yang diam-diam merasa skeptis terhadap program-program pemberdayaan. Baginya, janji-janji manis seperti ini sering kali hanya berakhir pada angin lalu.

Sementara itu, UMKM setempat mulai membuka stan-stan mereka. Ada yang menjual tela rambat hangat, roll kukis daun kelor yang harum, kriuk-kriukan, hingga es krim kelor yang unik. Tak ketinggalan, bubur krecek dengan aroma pedas menggoda yang menjadi primadona.

"Nak, coba beli tela rambat ini. Gurih sekali, lho," ujar seorang ibu penjual sambil tersenyum pada Reno.

Reno menggeleng. "Maaf, Bu. Saya nggak ada uang."

Namun, pandangannya tiba-tiba terhenti pada sekelompok mahasiswa yang sibuk membantu para penjual. Mereka tak sekadar membeli, tetapi juga menjelaskan kepada pembeli lain kelebihan produk yang dijual.

"Pak, ini roll kelor sangat sehat, kaya vitamin C. Cocok untuk meningkatkan imunitas," ujar salah seorang mahasiswa pada seorang pembeli.

Melihat itu, Reno merasa sedikit terusik. Ada yang berbeda dengan acara ini. Mahasiswa itu benar-benar peduli, bahkan membantu menggiring pembeli ke setiap stan.

Hujan semakin deras. Tiba-tiba listrik padam. Semua orang terkejut, termasuk Reno. Namun, alih-alih panik, para lansia kembali memainkan angklung di bawah guyuran hujan. Irama yang mereka hasilkan seakan menyelimuti suasana dengan keajaiban baru.

Sebuah suara berat memecah keheningan. "Hei, kamu, Reno, kan? Mau sampai kapan berdiri di situ?"

Reno menoleh. Rektor universitas berdiri di belakangnya, dengan payung yang melindunginya dari hujan.

"Kenapa Bapak peduli?" tanya Reno dengan nada menantang.

"Saya mendengar semua keluhanmu tadi," kata Rektor dengan tenang. "Kau pikir ini cuma basa-basi? Lihatlah sekeliling. Ini bukan sekadar proyek kampus, tapi upaya untuk membangun masa depan kalian. Kau bisa ikut bergerak, atau terus diam di sudut gelap seperti ini."

Reno terdiam. Kata-kata itu seperti tamparan keras.

"Kalau kau ragu, cobalah dulu," tambah Rektor sebelum beranjak.

Reno menghela napas panjang. Ia melangkah mendekati salah satu stan, membeli semangkuk bubur krecek dengan uang terakhir yang ia miliki. Hangatnya bubur itu menyelusup ke tubuhnya, tapi yang lebih mengejutkan adalah rasa lega yang muncul di hatinya.

Namun, malam itu, kabar mengejutkan datang. Laboratorium yang baru diresmikan kebakaran akibat korsleting listrik. Semua panik, termasuk Reno yang langsung berlari ke lokasi.

"Semua orang aman? Apa yang terbakar?" tanyanya dengan panik.

"Data-datanya, semua habis!" seru salah satu mahasiswa sambil menangis.

Reno hanya bisa mematung. Tiba-tiba, ia sadar betapa pentingnya program ini bagi banyak orang. Ia merasa bersalah karena telah meremehkan semuanya.

Ketika asap mulai reda, Reno memutuskan untuk melakukan sesuatu yang luar biasa.

"Aku tahu data hilang, tapi kita masih punya semangat. Aku akan bantu kumpulkan ulang semuanya! Kita bangun lagi laboratorium ini dari nol," serunya dengan suara lantang.

Hari-hari berikutnya, Reno menjadi salah satu motor penggerak untuk membangun kembali apa yang hilang. Warga dan mahasiswa bahu-membahu di tengah guyuran hujan yang terus membasahi tanah Iroyudan. Di sana, Reno akhirnya percaya bahwa masa depan adalah sesuatu yang harus diperjuangkan bersama, bukan dinanti dengan diam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun