Sementara itu, UMKM setempat mulai membuka stan-stan mereka. Ada yang menjual tela rambat hangat, roll kukis daun kelor yang harum, kriuk-kriukan, hingga es krim kelor yang unik. Tak ketinggalan, bubur krecek dengan aroma pedas menggoda yang menjadi primadona.
"Nak, coba beli tela rambat ini. Gurih sekali, lho," ujar seorang ibu penjual sambil tersenyum pada Reno.
Reno menggeleng. "Maaf, Bu. Saya nggak ada uang."
Namun, pandangannya tiba-tiba terhenti pada sekelompok mahasiswa yang sibuk membantu para penjual. Mereka tak sekadar membeli, tetapi juga menjelaskan kepada pembeli lain kelebihan produk yang dijual.
"Pak, ini roll kelor sangat sehat, kaya vitamin C. Cocok untuk meningkatkan imunitas," ujar salah seorang mahasiswa pada seorang pembeli.
Melihat itu, Reno merasa sedikit terusik. Ada yang berbeda dengan acara ini. Mahasiswa itu benar-benar peduli, bahkan membantu menggiring pembeli ke setiap stan.
Hujan semakin deras. Tiba-tiba listrik padam. Semua orang terkejut, termasuk Reno. Namun, alih-alih panik, para lansia kembali memainkan angklung di bawah guyuran hujan. Irama yang mereka hasilkan seakan menyelimuti suasana dengan keajaiban baru.
Sebuah suara berat memecah keheningan. "Hei, kamu, Reno, kan? Mau sampai kapan berdiri di situ?"
Reno menoleh. Rektor universitas berdiri di belakangnya, dengan payung yang melindunginya dari hujan.
"Kenapa Bapak peduli?" tanya Reno dengan nada menantang.
"Saya mendengar semua keluhanmu tadi," kata Rektor dengan tenang. "Kau pikir ini cuma basa-basi? Lihatlah sekeliling. Ini bukan sekadar proyek kampus, tapi upaya untuk membangun masa depan kalian. Kau bisa ikut bergerak, atau terus diam di sudut gelap seperti ini."