OLEH: Khoeri Abdul Muid
Rinai hujan turun perlahan di Kampung Emas Iroyudan, Guwosari, Pajangan. Namun, suasana tetap hidup. Di bawah langit kelabu yang terasa romantis, deretan lansia mengenakan baju adat Jawa dengan selendang batik berwarna emas berbaris rapi. Dalam genggaman mereka, alat musik angklung siap berbunyi menghidupkan hari bersejarah ini.
"Siap, simbah-simbah? Kita mulai, ya!" ujar Bu Tati, koordinator lansia sekaligus pencetus ide permainan angklung ini.
"Siap, Bu!" seru mereka serentak, membuat suasana menjadi riuh semangat.
Ketika angklung mulai berbunyi, dentingnya membawa kehangatan di tengah hujan. Nada-nada manis melantun dari tangan-tangan renta yang gesit, menciptakan harmoni luar biasa. Semua tamu, termasuk sang Rektor Universitas Bantul yang datang untuk meresmikan laboratorium kampus di kampung ini, terpukau.
"Hebat, luar biasa! Ini sungguh indah," ujar Rektor sambil bertepuk tangan.
Acara dilanjutkan dengan penandatanganan prasasti, sebuah momen simbolis yang mengikat kampus dan masyarakat dalam sebuah sinergi. Kini, Kampung Emas Iroyudan resmi menjadi mitra universitas dalam mengembangkan inovasi berbasis pemberdayaan masyarakat.
Namun, di tengah kemeriahan itu, seorang pemuda berperawakan kurus dengan jaket lusuh berdiri di sudut. Tatapannya tajam, menyapu para tamu yang sibuk memuji-muji angklung.
"Itu semua basa-basi. Apa mereka tahu bagaimana sulitnya kami bertahan di sini?" gumamnya dengan getir.
Pemuda itu bernama Reno, salah satu warga Iroyudan yang diam-diam merasa skeptis terhadap program-program pemberdayaan. Baginya, janji-janji manis seperti ini sering kali hanya berakhir pada angin lalu.