OLEH: Khoeri Abdul Muid
Adrian duduk termenung di ruang perpustakaan universitas, dikelilingi buku-buku tebal yang menyimpan segudang ilmu. Gelar profesor muda yang ia raih dengan kerja keras tidak mampu mengisi kekosongan di hatinya. Hidupnya sempurna di mata orang lain, tetapi ia sering merasa ada yang hilang. Pertanyaan mendasar terus bergema di pikirannya: Apa tujuan hidup ini?
Suatu malam, dalam lelahnya mengejar jawaban, Adrian bermimpi berada di padang pasir yang luas. Angin berhembus membawa suara lantunan lembut: Laa ilaaha illallah, Muhammadur Rasulullah. Cahaya terang muncul dari cakrawala, menyelimuti Adrian. Dalam mimpi itu, seorang lelaki berwajah teduh menghampirinya.
"Siapa engkau?" tanya Adrian.
"Aku adalah utusan yang membawa kebenaran," jawab lelaki itu dengan suara yang menenangkan. "Engkau mencari tujuan, tetapi engkau lupa kepada Sang Pencipta. Kembalilah kepada-Nya."
Adrian terbangun dengan jantung berdebar. Ia merasa mimpi itu bukan sekadar bunga tidur. Ada pesan yang sangat nyata, namun ia masih ragu.
Pagi harinya, Adrian menghabiskan waktu meneliti agama-agama besar dunia. Ia mendalami sejarah Nabi Muhammad , membandingkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan konsep sains modern. Namun, keraguan terus menghantuinya.
"Adrian, kau adalah akademisi," bisiknya pada diri sendiri. "Bagaimana bisa kau percaya pada sesuatu yang tidak terlihat?"
Ketegangan ini memuncak ketika seorang kolega mendengar minat Adrian terhadap Islam. "Kau serius?" ejek rekannya. "Orang secerdasmu percaya pada doktrin kuno?"
Namun, keraguan itu justru memperkuat tekad Adrian. Ia merasa bahwa keyakinannya harus dibangun bukan atas pendapat orang lain, tetapi atas dasar pencarian yang jujur.