OLEH: Khoeri Abdul Muid
(Oktober 2024, akhir bulan. Langit Colo Muria tampak mengerut, seperti menahan hujan yang enggan jatuh.)
Lydia berdiri di depan makam Sunan Muria. Udara pegunungan yang dingin menusuk kulit, tetapi hatinya terasa lebih dingin lagi. Beberapa hari lalu, pekerjaannya sebagai desainer grafis di kota hampir membuatnya menyerah. Target menumpuk, revisi tak berujung, dan klien yang tak pernah puas. Ia merasa hidupnya seperti robot---berjalan, bekerja, dan lelah tanpa henti.
Hari itu, Lydia memutuskan untuk mendaki Muria, bukan untuk ziarah semata, melainkan untuk mencari kedamaian. Ia berjalan pelan menuju makam, menghirup aroma dupa yang samar. Di hadapan makam, ia berbisik, "Jika aku memang harus kuat, tuntun aku. Jika aku harus melepaskan, beri aku tanda."
Suara doa pelan mengalun dari rombongan lain. Lydia menutup mata sejenak, membiarkan pikirannya kosong. Namun, perutnya tiba-tiba bergemuruh keras, memecah kekhusyukannya.
Ia tertawa kecil sendiri. "Ya Tuhan, bahkan tubuhku tak sabar menunggu."
Di kaki gunung, Lydia menemukan jajaran warung rakyat yang ramai. Ia langsung tertarik pada warung tahu kupat Pak Dompleng yang legendaris. Meja-meja kecil penuh dengan pengunjung yang asyik menyantap hidangan mereka.
"Tahu kupat satu, Pak," katanya sambil tersenyum pada pemilik warung, seorang pria tua dengan topi anyaman yang miring di kepalanya.
"Langsung duduk saja, Mbak. Nanti saya antarkan," balas Pak Dompleng ramah.
Sambil menunggu pesanannya, Lydia memperhatikan rak kecil di sudut warung yang penuh dengan makanan ringan tradisional: grubi, enting-enting wijen, criping gethuk, emping jagung, hingga slondok pedas. Ia mengambil beberapa bungkus, membayangkan rasa manis dan gurih yang akan menghibur hatinya.