OLEH: Khoeri Abdul Nuid
Apa yang terjadi jika kita mengabaikan tanggung jawab kita? Apakah kita bisa hidup dengan tenang, atau justru hidup kita akan terhimpit oleh penyesalan yang tak berujung?
Fikri duduk sendiri di sudut masjid, tenggelam dalam pikirannya. Ia memandang lampu yang bergoyang pelan, seolah menunggu dirinya untuk menemukan jawaban. Ada perasaan yang mengganggu hati Fikri. Ia sadar, waktu terus berjalan dan sebuah ujian besar sudah menantinya. Namun, ia belum siap. Begitu banyak alasan yang ia ciptakan, tetapi di balik itu, ada rasa ketakutan yang terus menggerogoti.
Hari itu, seperti biasa, kelas dimulai dengan Ustaz Abdullah yang berdiri di depan. "Setiap santri harus memimpin sholat berjamaah setidaknya sekali dalam bulan ini," kata Ustaz dengan suara tegas namun lembut.
Fikri merasa dunia seolah berhenti sejenak. Semua mata tertuju padanya. Suara hatinya berbisik panik, "Aku? Aku harus memimpin sholat? Aku belum siap!" Ia ingin melarikan diri, bersembunyi di balik wajah-wajah yang tak mempedulikannya, tetapi rasa malu menghalanginya. Tugas ini harus ia terima, meskipun hatinya penuh keraguan.
Setelah hari itu, Fikri terus mencari alasan. "Aku akan melakukannya minggu depan," katanya, sambil mengalihkan perhatian ke buku yang terbuka. Namun, setiap malam, di setiap sudut kamarnya, bayangan tugas itu semakin nyata. "Besok, pasti besok," katanya berulang-ulang, tapi tetap saja ia merasa tidak siap.
Hari-hari berlalu begitu cepat. Tugas itu semakin mendekat, semakin menekan. Fikri mulai merasakan beratnya penundaan. Setiap malam, saat ia berbaring di tempat tidur, rasa cemas terus menghantuinya. Ia membayangkan dirinya berdiri di depan jemaah, tangannya gemetar, suaranya tidak keluar, atau bahkan salah melafalkan doa. Takut menjadi bahan tertawaan, takut dianggap gagal.
Namun, malam itu, di tengah kegelisahannya, suara hatinya berbicara dengan tegas, "Kamu harus melakukannya, Fikri. Tidak ada yang lain."
Akhirnya, menjelang akhir bulan, Fikri tidak punya pilihan lain. Ia harus melaksanakan tugas yang selama ini ia hindari. Dengan langkah berat, ia menuju masjid, hatinya berdebar begitu kencang. Seperti ada ribuan mata yang menatapnya, meskipun yang hadir hanya beberapa orang. Dengan setiap langkah, ia merasa semakin terperangkap dalam rasa takut dan ketidakpastian.
Saat tiba waktunya, Fikri berdiri di depan jemaah, tangannya terasa dingin dan gemetar. "Bismillahirrahmanirrahim..." Suaranya tercekat, tetapi ia melanjutkan juga. Setiap kata terasa bagaikan tantangan besar. Tiba-tiba, ia merasakan gelisah yang mendalam. Namun, begitu sholat selesai dan ia mengucapkan salam, ada rasa lega yang luar biasa. Seakan beban berat yang ia pikul selama ini terlepas begitu saja.