Pengantar:Â
Pada 3 Desember 2024, Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, mengumumkan darurat militer untuk menghadapi ancaman dari kekuatan komunis Korea Utara dan ketegangan politik dalam negeri yang semakin memanas. Pengumuman ini datang di tengah perdebatan sengit antara pemerintah dan oposisi mengenai rancangan undang-undang anggaran.Â
Yoon menuduh partai oposisi berupaya menggulingkan pemerintah dan menciptakan kekacauan di dalam negeri. Meskipun ini merupakan langkah ekstrem, hal ini mengingatkan kita pada pentingnya menjaga stabilitas negara di tengah ketegangan politik, serta bagaimana setiap negara merespons ancaman baik dari luar maupun dalam.Â
Dalam konteks ini, Indonesia yang memiliki sejarah panjang perjuangan kemerdekaan dan demokrasi juga menghadapi tantangan serupa, di mana stabilitas sosial-politik dan prinsip-prinsip demokrasi harus tetap dijaga dengan penuh kehati-hatian.
Refleksi:
Pengumuman darurat militer yang dilakukan oleh Presiden Yoon Suk Yeol di Korea Selatan mengingatkan kita tentang bagaimana negara menghadapi krisis dalam konteks ancaman eksternal dan ketegangan politik internal. Yoon menganggap langkah ini penting untuk melindungi negara dari kekuatan komunis Korea Utara yang terus menjadi ancaman, sekaligus untuk mengatasi ketidakstabilan yang muncul akibat gesekan di dalam negeri antara pemerintah dan oposisi. Tindakan ini memunculkan diskusi tentang bagaimana negara bisa menghadapi tantangan besar dan mengembalikan tatanan yang menurutnya terancam.
Namun, langkah yang diambil Yoon ini memunculkan pertanyaan besar bagi kita semua tentang batasan antara keamanan dan kebebasan politik. Dalam pengumumannya, Yoon menyebutkan bahwa oposisi, yang memiliki mayoritas di parlemen, telah memblokir berbagai kebijakan penting untuk negara, seperti anggaran untuk memerangi kejahatan narkoba dan menjaga keamanan publik. Di satu sisi, klaim ini mencerminkan keinginan untuk mempertahankan negara dari potensi kerusakan yang bisa ditimbulkan oleh kekacauan politik, tetapi di sisi lain, langkah ini berpotensi mengancam nilai-nilai demokrasi, kebebasan berpendapat, dan hak asasi manusia.
Indonesia, dengan latar belakang sejarah yang penuh gejolak, telah melalui banyak periode darurat, mulai dari masa kemerdekaan hingga periode Reformasi yang membuka jalan bagi sistem demokrasi yang lebih terbuka. Dalam menghadapi ketegangan dan krisis, Indonesia selalu berusaha menjaga keseimbangan antara stabilitas negara dan kebebasan rakyat. Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia, memainkan peran penting dalam membimbing setiap langkah kebijakan agar tetap berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.
Krisis di Korea Selatan juga mengingatkan kita pada tantangan dalam menjaga sistem demokrasi yang sehat. Ketegangan antara pemerintahan yang berkuasa dengan oposisi sering kali menjadi pemicu ketidakstabilan dalam negeri, sebagaimana yang terjadi dalam berbagai peristiwa sejarah Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia, meskipun dengan kondisi yang berbeda, juga harus belajar dari pengalaman internasional seperti yang terjadi di Korea Selatan. Kita harus memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah tidak hanya mengutamakan kepentingan politik sesaat, tetapi tetap berorientasi pada kepentingan nasional yang lebih besar, termasuk kesejahteraan rakyat dan keberlanjutan demokrasi.
Lebih dari itu, Indonesia harus menjaga komitmen terhadap nilai-nilai sosial, budaya, dan agama yang menjadi dasar kehidupan berbangsa. Keberagaman yang dimiliki Indonesia adalah kekuatan yang harus dijaga dengan dialog dan rekonsiliasi yang terbuka, bukan dengan tindakan yang berpotensi mengarah pada polarisasi sosial dan politik.
Pengumuman darurat militer di Korea Selatan, meskipun memberikan gambaran ekstrem tentang bagaimana sebuah negara merespons krisis, sejatinya mengingatkan kita bahwa tantangan dalam menjaga stabilitas politik dan sosial tidak hanya terjadi di negara dengan konflik bersenjata atau ketegangan internasional, tetapi juga di dalam konteks politik domestik. Oleh karena itu, Indonesia harus terus memperkuat komitmen pada sistem demokrasi yang inklusif, menjaga kebebasan sipil, dan menghindari langkah-langkah yang bisa merusak harmoni sosial.
Pada akhirnya, dari pengalaman ini kita bisa merenungkan bahwa stabilitas negara, di mana pun, bukan hanya soal kekuatan militer atau kekuasaan politik, tetapi lebih pada bagaimana negara mampu menciptakan ruang bagi dialog, partisipasi, dan saling pengertian antar seluruh elemen bangsa, demi kemajuan bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H