OLEH: Khoeri Abdul Muid
Pagi itu, Alexander berdiri di hadapan gurunya, Aristoteles, dengan penuh rasa ingin tahu. "Guru," tanyanya, "di mana aku bisa menemukan Tuhan yang lebih dari sekadar akumulasi pemikiran kita? Di mana aku bisa melihat Tuhan yang sejati?"
Aristoteles memandangnya dengan mata tajam, seolah menilai dalam-dalam, lalu berkata, "Jika engkau ingin melihat Tuhan yang bukan hanya akumulasi fikiran, pergilah ke timur, ke tempat orang-orang Aphiru."
"Apakah Aphiru itu, Guru?" tanya Alexander, bingung.
"Ah, itu sebuah tempat yang tidak banyak diketahui orang. Tapi aku akan memberimu petunjuk. Jika engkau berlayar ke barat dari Sumatera, belokkan perahumu setelah melewati gurun Arab. Setelah itu, melintaslah Laut Merah menuju pantai selatan Gurun Sinai. Kamu akan menemukan tanah itu. Itu adalah rumah mereka, orang-orang Aphiru."
Alexander terdiam, mencerna kata-kata sang guru. "Dan apa yang akan aku temukan di sana?"
Aristoteles menarik napas dalam-dalam. "Kamu akan menemukan kebenaran yang tak terucapkan, sebuah pencarian yang lebih dalam daripada apa yang kita pikirkan. Orang-orang Aphiru bukan hanya sekadar kelompok manusia biasa. Mereka adalah penyeberang, orang-orang yang membawa kisah-kisah yang lebih tua dari zaman kita."
Perjalanan dimulai. Setelah berlayar dengan penuh tekad, Alexander tiba di sebuah tempat yang panas dan berdebu, jauh dari kehidupan yang dikenalinya. Ia berjalan menuju arah yang telah dipandu oleh sang guru. Di sepanjang jalan, ia merasa seolah ada sesuatu yang lebih besar dari dirinya yang memanggilnya.
Sesampainya di Mesir, ia bertemu dengan seorang lelaki tua yang mengenakan pakaian lusuh. "Aku tahu mengapa kamu datang," kata lelaki itu, "kamu mencari Aphiru."
"Apakah kamu tahu mereka?" tanya Alexander dengan rasa penasaran yang tak terbendung.