OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah aula tua yang dihiasi lampu kristal seperti bintang-bintang, suasana panas mulai terasa. Orang-orang dari berbagai latar belakang berkumpul, memperdebatkan satu hal: "Kapan hari lahir kota kita?"
Pertanyaan itu bukan tentang seorang manusia, melainkan tentang kota bernama Dharma Wicaksana. Sebagian orang percaya kota itu lahir dari sejarah panjang, sementara yang lain bersikukuh pada tanggal resmi yang dicatat pemerintah.
"Prasasti Sagara jelas menyebutkan bahwa kota ini sudah ada sejak abad ke-9," tegas seorang sejarawan sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di atas buku tebal. "Kita punya bukti arkeologis bahwa pelabuhan besar berdiri di sini lebih dari seribu tahun lalu."
Seorang pejabat pemerintah memotong. "Tapi secara hukum, Dharma Wicaksana baru menjadi kota pada tahun 1950. Itu fakta yuridis. Kita tak bisa mengabaikan keputusan formal."
Perdebatan memanas. Suara-suara saling bertabrakan, penuh emosi dan argumen. Seorang budayawan menambahkan, "Kalau kita melupakan akar sejarah, kita kehilangan jati diri!" Di sisi lain, ekonom muda berbisik, "Tanpa aturan modern, kota ini tak akan bertahan."
Di tengah keributan itu, seorang anak kecil yang duduk di pojok aula berdiri. Dengan wajah polos tapi penuh keberanian, dia berkata, "Kalian ribut soal kapan kota ini lahir, tapi apa kalian peduli bagaimana kita merawatnya sekarang?"
Ruangan mendadak sunyi. Kata-kata sederhana itu seperti petir di siang bolong. Semua mata tertuju pada anak itu, cucu dari seorang tokoh masyarakat setempat.
Sejarawan itu terdiam, memandangi bukunya. Pejabat modern menunduk, tampak merenung. Tak ada yang berbicara.
"Dia benar," akhirnya kata seorang tokoh adat. "Hari lahir itu penting, tapi jauh lebih penting apa yang kita lakukan untuk kota ini hari ini."