Ponco: "Tapi sekarang, lihat, Kak. Orang-orang makin lupa nilai-nilai Pancasila. Apa mereka nggak belajar dari sejarah?"
Silo mengangguk, lalu membalas dengan nada serius.
Silo: "Mungkin, Ponco, kita sendiri juga perlu bertanya: sejauh mana kita sudah menerapkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari? Misalnya, kamu sebagai Satpol PP, bagaimana cara kamu memperjuangkan keadilan sosial?"
Ponco terdiam. Ia teringat kejadian beberapa hari lalu. Ia diminta menertibkan pedagang kaki lima di pasar, termasuk seorang ibu tua yang berdagang demi biaya sekolah cucunya. Saat itu, ia merasa bersalah, tapi tugas adalah tugas.
Ponco: "Aku sering bingung, Kak. Apa aku harus ikut perintah, meski aku tahu itu bikin orang susah?"
Silo tersenyum lembut.
Silo: "Itulah tantangannya, Ponco. Pancasila bukan sekadar simbol, tapi pedoman. Kadang, kita harus berani mencari cara yang adil tanpa melanggar aturan. Kalau kamu merasa kebijakan itu kurang tepat, diskusikan dengan atasan. Gunakan musyawarah."
Ponco: "Musyawarah? Apa mereka mau dengar pendapatku, Kak?"
Silo: "Kalau tidak mencoba, kamu tidak akan tahu. Bahkan para pendiri bangsa berani berdebat panjang demi konsensus. Kita pun harus belajar dari keberanian itu."
Diskusi mereka berakhir dengan senyum dan pemahaman baru. Ponco kini melihat Pancasila sebagai semangat perjuangan, bukan sekadar teks hafalan. Ia bertekad untuk mencoba menerapkan nilai-nilai itu dalam pekerjaannya, sekecil apa pun langkahnya.
Silo: "Ponco, ingat. Pancasila itu bukan hanya hasil kompromi, tapi bukti bahwa kita bisa bersatu dalam perbedaan. Jangan menyerah untuk memperjuangkannya."