OLEH: Khoeri Abdul Muid
(Kemarahan bagaikan melempar bara api kepada orang lain. Sasaran kita belum tentu kena, tetapi kita sendirilah yang tersakiti lebih dulu.)
Malam itu, desa yang biasanya tenang dikejutkan oleh kobaran api dari rumah di pinggir jalan. Warga berkerumun, saling berbisik tentang tragedi yang baru saja terjadi. Di tengah kepulan asap, mereka menemukan Asti duduk bersandar di dinding, matanya kosong menatap telapak tangannya yang memerah.
"Apa yang kau lakukan, Asti?" tanya Pak Lurah, nadanya lebih cemas daripada marah.
Asti menatap Pak Lurah, suaranya pelan, hampir seperti gumaman. "Aku hanya ingin membuatnya merasakan... tapi aku yang terbakar lebih dulu."
***
(Seminggu Sebelumnya)
"Bayu, kau pikir aku tak tahu?" ujar Asti, tangannya gemetar memegang piring yang hendak dihidangkan.
Bayu mendongak dari ponselnya, alisnya terangkat. "Tahu apa?"
"Perempuan itu! Setiap sore kau bilang lembur, tapi aku tahu kau ke kota!" Asti membentak, napasnya memburu.
Bayu tertawa kecil, seolah tak terganggu. "Kalau tahu, lalu kenapa? Kau mau apa? Mengadu ke orang tuamu? Atau mengusirku dari rumah ini? Hah, Asti?"