OLEH: Khoeri Abdul Muid
Soal nasib. Meski bagai langit- bumi. Ponco dan Silo merupakan teman berkelindan. Teman sinorowedi. Teman securahan hati.
Berlatarbelakang yang lain. Pendidikan Ponco mandeg sampai jenjang SMA. Sementara Silo berkesempatan mengenyam ilmu di IKIP Yogyakarta hingga S-3.
Beruntung mereka bekerja dalam lingkungan yang sama. Silo meskipun masih muda sudah dipercaya menjadi asisten Bupati. Sementara Ponco, pasukan Satpol PP. Sehingga hampir saban hari pasca-bekerja. Ponco dan Silo mengistiqomahkan kebiasaan lama. Kongko-kongko. Ngopi-ngopi. Tapi no smoking.
Sebenarnya, saat di SD, rangking Ponco lebih baik dari Silo. Sehingga meski senjang taraf pendidikannya, tapi Ponco mampu mengimbangi Silo saat bergulat pikir dalam 'guyon maton' mereka. Ya. Mereka sering berdiskusi soal apa saja. Se-mood mereka. Asiknya, dua-duanya hoby membaca buku-buku tebal dan menulis di blog "Nitizen_Bersatu".
Kali ini mereka berdiskusi tentang isi buku Negara Paripurna-nya Yudi Latif, bab sila keempat Pancasila.Â
Ponco: Kak Silo, dalam sila keempat itu, kenapa ada kata-kata "dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan"? Apa maksudnya?
Silo: Itu pertanyaan yang bagus, Ponco. Kata "hikmat kebijaksanaan" menunjukkan bahwa dalam menjalankan sistem pemerintahan, tidak hanya keputusan yang penting, tetapi cara kita membuat keputusan itu juga harus bijaksana. Artinya, proses pengambilan keputusan harus mengedepankan kepentingan rakyat dan dilakukan dengan penuh pertimbangan yang matang.
Ponco: Jadi, bukan cuma soal siapa yang berkuasa, kan? Tapi bagaimana kekuasaan itu dijalankan?
Silo: Tepat sekali, Ponco. Yudi Latif dalam bukunya menjelaskan bahwa sila ini mengajarkan kita untuk memimpin dengan akal sehat, bukan hanya berdasarkan kekuatan atau kepentingan pribadi. Ini adalah ajakan untuk menggunakan hikmat dalam memutuskan sesuatu yang berpengaruh besar bagi rakyat banyak.