"Aku tidak butuh perlindungan Ayah! Semua sudah tiada---Bapak, Ibu, dan Kakak Sirwenda! Aku tidak punya alasan untuk pulang!" balas Danurwenda dengan nada tajam, matanya penuh amarah.
Melihat dirinya terpojok, Danurwenda mencoba melompat ke arah samping. Namun, kakinya terperosok ke dalam lubang yang cukup dalam. "Aduh!" teriaknya sebelum akhirnya tubuhnya terhempas ke dasar lubang. Danurwenda pun tewas.
Jayakusuma berlari ke arah jasad anak bungsunya. Ia terduduk, memeluk tubuh Danurwenda yang sudah tidak bernyawa. "Oh, Danurwenda, kenapa takdir ini begitu kejam? Kau terjatuh dan menemui ajalmu di sini. Biarlah tempat ini kelak dikenal sebagai Jiglong, untuk mengenangmu yang 'kejiglong' di sini."
Dua prajurit pengawal, Paman Parman dan Mas Kalicuk, akhirnya tiba di lokasi. Mereka terengah-engah setelah mengejar Jayakusuma dari belakang.
"Sendika, Kanjeng Adipati," ucap Paman Parman penuh hormat.
Jayakusuma menghela napas panjang, matanya sembap. Dengan bantuan para prajurit, ia mengurus jenazah kedua putranya.
Di sela-sela itu, Mas Kalicuk berbisik kepada Paman Parman. "Kasihan, ya, Kanjeng Adipati. Ia sudah kehilangan istri dan kedua anaknya. Tapi nanti bisa-bisa ia dituduh membunuh mereka, padahal niatnya hanya ingin menyelamatkan."
"Sudahlah, Cuk," balas Paman Parman pelan. "Semua ini adalah takdir. Bukankah segala amal itu tergantung niat? Dan hanya Tuhan yang tahu niat seseorang."
BERSAMBUNG.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H