OLEH: Khoeri Abdul Muid
Siang itu, gua di Gunung Patiayam terasa gerah. Baron Sekeber duduk santai di luar, menikmati angin. Di sekitarnya, para pengikutnya sibuk melayani, termasuk Panggah, Panggih, Jarot, dan Wage, yang kini tampak asyik berbincang.
"Kita harus berterima kasih kepada Tuan Sekeber. Ingat waktu kita menghadangnya di Gunung Bedhah? Kalau saja dia tidak punya belas kasihan, mungkin kita sudah mati saat itu," kata Panggah, mengenang pertemuan mereka dengan Baron Sekeber.
"Betul! Makanya, kalau melayani Tuan Sekeber, kita harus sopan. Bahkan, kalau perlu, kita belajar bahasanya supaya makin akrab," tambah Panggih.
Pembicaraan mereka terhenti ketika Jarot datang membawa kabar, "Nasinya sudah matang!"
"Baik, siapkan di meja dan persilakan Tuan Sekeber," perintah Panggah.
Mereka bergotong royong menyajikan makan siang. Piring, nasi, lauk-pauk, dan ceret air tertata rapi. Sesaat kemudian, Panggah menghampiri Baron Sekeber, mengundangnya masuk.
"Silakan makan, Tuan," sambut Wage dengan gaya bicaranya yang meniru-niru aksen Sekeber. Namun, kalimat Wage yang mencampuradukkan bahasa Jawa dan Indonesia memicu perdebatan kecil.
"Goblog! 'Siang' itu artinya 'awan', bukan 'siyang'!" sergah Panggah.
"Tapi kan Tuan Sekeber bilangnya 'siang' untuk 'awan', Kak," balas Jarot membela Wage.
Baron Sekeber hanya tersenyum tipis, tidak terlalu peduli. Namun, kesalahpahaman segera terjadi saat Wage memperkenalkan lauk-pauk.