"Laras, kamu tahu kenapa aku nggak mau melanggar aturan? Karena aku nggak mau anak-anak kita tumbuh tanpa rasa hormat pada ayah mereka. Kalau kita mengambil apa yang bukan hak kita, itu bukan cuma menghancurkan nama kita, tapi juga masa depan mereka."
Laras menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis. "Aku nggak mau kalah, Bima. Aku capek jadi bahan gunjingan. Kamu nggak tahu rasanya dihina terus-menerus."
Bima mendekat, menggenggam tangan Laras dengan lembut. "Aku tahu, Laras. Aku tahu ini berat. Tapi kita harus percaya, semua ini akan membuahkan hasil. Lebih baik kita pelan, tapi sampai tujuan tanpa kehilangan diri kita."
Air mata Laras mengalir deras. Ia memeluk Bima, meski hatinya masih penuh kebingungan. Hujan terus turun, seolah membasuh luka mereka perlahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H