OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di bawah langit malam yang diselimuti awan kelabu, Laras duduk di ujung ranjang, wajahnya tertunduk lesu. Hujan rintik-rintik terdengar seperti melodi kesedihan yang mengiringi keheningan di kamar mereka.
"Bima, sampai kapan kita hidup begini?" tanyanya, suaranya nyaris tenggelam di antara derai hujan.
Bima, yang sedang menghangatkan tangan di dekat jendela, menoleh. "Apa maksudmu, Laras?"
"Maksudku... lihat rumah ini. Atap bocor, dinding mulai retak. Kamu kepala desa, tapi kita malah seperti orang susah." Laras menoleh, matanya basah oleh air mata. "Kamu nggak malu?"
Bima menarik napas panjang. Ia tahu percakapan ini akan mengarah ke mana. "Laras, aku tahu kita nggak hidup mewah. Tapi, aku nggak bisa mengorbankan prinsipku cuma untuk gengsi."
Laras berdiri, menghampiri Bima dengan langkah tergesa-gesa. "Prinsip? Apa prinsip bisa bayar utang? Apa prinsip bisa kasih masa depan untuk anak-anak kita?!"
Suara Laras meninggi, menggema di kamar kecil mereka. Bima memalingkan wajah, matanya menatap hujan yang terus turun. Dalam hatinya, ia merasakan luka yang dalam.
"Laras, hidup ini bukan soal siapa yang punya rumah besar atau mobil mewah. Aku jadi kepala desa untuk melayani, bukan mencuri."
"Melayani?" Laras tertawa sinis. "Kamu bahkan nggak bisa melayani kebutuhan istrimu sendiri. Jabatan kamituwa dan kebayan itu kosong, Bima. Kesempatan untuk kita ambil bagian! Kamu tinggal diam, sementara orang lain terus memperkaya diri."
Hening. Hanya suara hujan yang terdengar. Bima berbalik, menatap istrinya dengan mata yang berkilat oleh tekad.