OLEH: Khoeri Abdul Muid
Siang itu Suli masih bermalas-malasan, berselimutkan kain lusuh di atas dipan kayu. Tatapan matanya kosong, terselubung lamunan tentang kekasihnya, si bule Sekeber. Getaran suara dan bayangan wajah Sekeber seolah terus bergaung di pikirannya, menciptakan harapan yang tak kunjung padam.
"Aku bersyukur, Suli," petuah Sekeber seakan menggema kembali di ingatannya. "Kita harus cari waktu untuk sering bertemu. Tapi, untuk sementara, kita harus berpisah dulu. Aku harus pergi ke Gunung Patiayam. Jika benih cinta yang aku tanam dalam dirimu tumbuh dan berbuah, dan kau melahirkan anakku, berilah dia nama Sirwenda Danurwenda kalau dia laki-laki. Kalau perempuan, terserah padamu."
Tiba-tiba suara keras membuyarkan lamunannya.
"Woo! Lha pantas saja jauh jodohmu! Perawan kok siang-siang begini masih selimutan! Tidak ada kerjaan lain apa?" omel Mbok Rondho, ibunya. Ia segera menarik kain dari tubuh Suli. "Sini kainnya biar saya lipat!"
"Mbok! Dingiiiinn..." Suli mencoba mempertahankan kainnya. Namun, tarik-menarik itu berakhir dengan kain terlepas dari genggaman Suli. Dan saat itu, perutnya yang membesar terlihat jelas.
"Hah?! Perutmu?! Kamu hamil, Suli?" jerit Mbok Rondho, matanya membelalak tak percaya. "Oh, Ndhuuuuk! Jadi ini hasil bertapamu malam-malam itu? Kamu hamil tanpa suami? Ndhuuuuk, kamu hamil dengan siapa?!"
Suli menunduk, tak mampu menjawab. Air matanya mengalir perlahan. "Mbok, maafkan aku. Aku memang hamil di luar nikah."
"Ndhuuuuk! Apa kamu tidak memikirkan harga diri keluarga ini? Orang-orang Kemiri pasti gempar! Kamu hamil dengan Ki Gedhe, ya?!" Amarah Mbok Rondho bercampur isak tangis. "Apa yang diberikan Ki Gedhe padamu sampai kamu mau begini?!"
Suli memeluk kaki ibunya, memohon ampun. "Mbok, aku tidak hamil dengan Ki Gedhe! Anak ini... anak Mas Sekeber, Mbok. Mas Baron Sekeber."
Mendengar nama itu, wajah Mbok Rondho berubah bingung. "Baron Sekeber? Siapa dia, Ndhuuuk?"