OLEH: Khoeri Abdul Muid
Baru saja matahari bergeser ke barat.
Dari kejauhan, terdengar alunan lembut lagu Jawa dengan nada Asmarandana. Suara itu berasal dari seorang perempuan paruh baya bernama Jinten, yang sedang berjalan menuju sendang desa di pinggir timur Kemiri. Di tangannya, ember penuh cucian kotor bergoyang seirama langkahnya.
Danane sendhang Kemiri
Murakabi mring pra warga
Ugi titah apa wae
Kewan sarta tetuwuhan
Butuh banyu kecukupan
Sawah-sawah dadi subur
Ngresepake yen sinawang
(Keberadaan sendang di desa Kemiri.
Memberi manfaat kepada para warga.
Juga makhluk apa saja.
Hewan serta pepohonan.
Butuh air yang cukup.
Sawah-sawah menjadi subur.
Menyenangkan bila dipandang.)
Jinten, si pelantun lagu, adalah seorang pembantu Kepala Desa Kemiri, Ki Gedhe Kemiri. Desa Kemiri merupakan salah satu wilayah penting di Kerajaan Pati. Ia meletakkan embernya di bibir sendang, memilih duduk di batu favoritnya, lalu melanjutkan nyanyiannya.
Tiba-tiba, suara ramah memecah kesunyian.
"Wah, tenteramnya. Bersenandung terus, Lik Jinten?" sapa Rara Suli, si gadis cantik desa Kemiri.
Suli, yang membawa buyung untuk mengambil air, segera bergabung. Mereka berbincang akrab, meski Jinten kemudian menggiring percakapan ke arah yang membuat suasana berubah. Dengan suara pelan dan berkonspirasi, Jinten menyampaikan gosip bahwa Ki Gedhe Kemiri berniat mempersunting Suli sebagai istri kedua.
Suli tersentak, lalu mencurahkan kekecewaannya.
"Ah, nasib memang tidak berpihak padaku, Lik. Aku ini anak janda, miskin, kok masih saja dikejar kakek-kakek bau tanah!"
Namun, Jinten tidak menyerah. Ia mencoba meyakinkan Suli dengan iming-iming harta dan kenyamanan. Sayangnya, tawaran itu justru memancing amarah Suli. Dengan tegas, ia menolak.
"Tidak, Lik! Saya miskin, tapi saya tidak akan menjual harga diri saya untuk uang!" katanya sembari meninggalkan Jinten dengan langkah tegas.