"Jika Tuanku membalas, sejarah akan mengingat Anda sebagai pemimpin yang tak gentar," lanjutnya, suaranya seperti bisikan iblis.
Dalam sekejap, bara di dadaku berkobar. Aku melangkah maju. "Kumpulkan pasukan. Kita rebut kehormatan itu!"
Bhanu tersenyum tipis. Ia tahu, aku telah memakan umpannya.
Masa kecilku bukanlah dongeng indah. Sebagai anak dari selir, aku adalah bayang-bayang yang disingkirkan ke sudut gelap istana. Tidak ada yang memanggilku pangeran, hanya "anak selir yang tak berguna."
Ketika kakakku, sang pewaris takhta, terbunuh dalam perang, aku melihat kesempatan. Dengan tipu daya dan kelicikan, aku merebut takhta. Tapi ternyata, kekuasaan hanya pembuka dari hasrat yang lebih besar.
Setelah takhta, aku ingin wilayah. Setelah wilayah, aku ingin kekayaan. Setelah kekayaan, aku ingin nama yang dikenang sebagai penguasa terbesar. Aku lupa bahwa ambisi adalah lubang tak berdasar.
Aku ingat suatu ketika, aku bertanya pada ibuku, "Mengapa orang-orang saling membunuh, Ibu?"
Ia memandangku dengan mata yang redup namun dalam. "Karena mereka selalu berkata: 'aku'."
Saat itu, aku tidak mengerti. Aku hanya tahu aku tidak ingin menjadi 'bukan siapa-siapa'.
Namun kini, di tengah kobaran api yang memusnahkan segalanya, aku akhirnya paham. Kata sederhana itu---'aku'---telah membakar tidak hanya musuh-musuhku, tetapi juga keluargaku, kerajaanku, bahkan jiwaku.
Langit di atas mulai runtuh. Aku terhuyung, menatap kehancuran yang menjadi warisanku.