OLEH: Khoeri Abdul Muid
Pada zaman dahulu, ada sebuah kerajaan di tanah Jawa yang bernama Medhang Kamulan. Prabu Aji Saka, raja yang bijaksana dan adil, memerintah di sana. Namun, kerajaan ini sebelumnya sempat direbut oleh ayah Pangeran Daniswara dengan cara yang tidak adil. Prabu Aji Saka, melalui perjuangan yang suci, berhasil merebut kembali Medhang Kamulan dan menegakkan keadilan.
Setelah beberapa tahun, Pangeran Daniswara, putra dari raja yang kalah, merasa kebingungan. Dia tidak hanya kecewa dengan nasib keluarganya, tetapi juga merasa bersalah di dalam hati. Memang, ayahnya telah berbuat salah, namun apakah pantas nasib keluarganya selalu dihantui rasa malu? Untuk mencari jawaban, Daniswara memutuskan untuk bertapa di alas Panukulan, sebuah tempat yang terkenal sebagai tempat suci.
Di sana, Daniswara menerima petunjuk dari seorang widadari yang mengatakan bahwa pengampunan dan keadilan lebih tinggi daripada balas dendam. Widadari itu memberi arahan kepada Daniswara untuk datang ke Medhang Kamulan dan memohon pengampunan dari Prabu Aji Saka.
Dengan hati yang cemas namun kuat karena wahyu yang diberikan, Daniswara datang ke istana. Namun, saat tiba di halaman Medhang Kamulan, perasaan takut dan marah masih menguasai hatinya. Pangeran Daniswara kemudian membawa pasukan kecil untuk menunjukkan bahwa dia masih memiliki martabat sebagai keturunan raja.
Prabu Aji Saka, yang menduga akan ada serangan dari Daniswara, tidak merespons dengan peperangan. Sebaliknya, ia mengundang Daniswara untuk berdialog dengan hati yang bersih. Pada suatu waktu, Aji Saka berkata, "Daniswara, jalan yang benar bukan terletak pada senjata atau kekuatan. Namun pada pengampunan dan persaudaraan. Jika kamu datang bukan untuk membalas dendam, aku akan mendengarkan keluh kesahmu."
Pangeran Daniswara, yang masih diliputi rasa emosi, berkata, "Aku tidak mencari persaudaraan. Aku hanya ingin martabat keluargaku kembali. Apakah Medhang Kamulan tidak bisa menjadi kerajaan seperti dulu?"
Dengan sabar, Prabu Aji Saka menjelaskan apa yang telah terjadi. Ia mengatakan bahwa Medhang Kamulan kini telah menjadi tempat bagi seluruh rakyat tanpa memandang siapa yang berkuasa. Pada saat itu, Pangeran Daniswara menyadari bahwa perjuangan Aji Saka bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk seluruh rakyat. Hatinya yang dulu penuh kebencian mulai adem karena pemahaman baru ini.
Pada akhirnya, Daniswara mundur dengan hormat dan memohon pengampunan kepada Prabu Aji Saka. Dia kembali ke alas Panukulan untuk melanjutkan pertapaan, dengan hati yang tenang dan bebas dari dendam.
Prabu Aji Saka kemudian mengutus Jugulmudha, penasihat kepercayaannya, untuk memeriksa desa-desa yang jauh dan menjaga persaudaraan antara rakyat. Pada waktu itu, Medhang Kamulan menjadi kerajaan yang makmur dan adil, dan Prabu Aji Saka tetap dikenang sebagai simbol pengampunan dan keadilan.
TAMAT.