OLEH: Khoeri Abdul Muid
Sari berjalan pelan menyusuri jalan setapak di desa yang sudah terbalut keheningan malam. Sebelum matahari terbenam, desa ini masih ramai dengan aktivitas warga. Namun, kini, suasana berubah menjadi mencekam setelah pergeseran waktu dari siang ke malam. Sari merasakan ada yang tidak beres---suasana yang biasanya tenang kini penuh dengan ketidakpastian.
Langkahnya terhenti saat mendengar suara desisan pelan, seakan-akan ada bisikan dari dalam gelap. Sari menoleh, mencoba mencari sumber suara itu, namun tidak ada apa-apa. Hanya angin malam yang menerpa wajahnya, membawa aroma tanah basah dari ladang yang jauh. Suara itu hilang, tetapi Sari merasa semakin ragu, semakin tak tenang. Sepertinya, hanya dia yang mendengar suara itu. Ataukah?
Pikiran kosong adalah hal yang berbahaya. Ketika otak tidak bisa fokus, ia menjadi lebih rentan terhadap hal-hal yang tidak terlihat, yang hanya bisa dirasakan oleh indera keenam. Sari menggigil, merasakan dingin yang bukan berasal dari udara malam. Dia tahu, ini bukan cuaca yang biasa. Suara yang tadi, perlahan mulai terdengar lagi. Kali ini lebih jelas, seakan menggema dari dalam tanah yang basah.
Langkahnya makin pelan. Matanya bergerak cepat, mencoba mencari bayangan apa pun di antara pepohonan yang gelap. Namun yang dia lihat hanya kegelapan yang pekat. Tiada seorang pun di sepanjang jalan. Warga desa pasti sudah masuk ke rumah masing-masing, jauh dari jalan yang kosong ini.
Suara itu semakin mendekat, tetapi tak ada jejak kaki yang terbayang di tanah. "Siapa itu?" suara Sari bergema pelan, teredam angin malam. Hanya ada keheningan yang membalasnya, semakin mencekam. Suara itu berhenti, lalu terdengar di belakangnya. Sari menoleh dengan cepat, namun hanya ada bayangan pepohonan yang bergerak pelan, seolah berbisik kepada dirinya.
"Sudah waktunya untuk kembali," pikirnya, namun kaki Sari seolah enggan bergerak. Ia terus melangkah ke depan, namun semakin jauh, suara itu semakin jelas dan semakin keras, kini terdengar seperti langkah kaki yang mengikuti setiap gerakannya.
Ia berlari, meninggalkan jejak-jejak ketakutan di sepanjang jalan setapak, berlari menuju rumah. Tetapi semakin dia berlari, semakin dekat suara itu mengejarnya. Seakan langkah itu lebih cepat darinya, lebih dekat, bahkan hampir menyentuh tubuhnya.
Di depan rumah, pintu terbuka dengan sendirinya. Tanpa berpikir panjang, Sari masuk dan mengunci pintu dengan tergesa-gesa. Nafasnya terengah-engah, dan tubuhnya gemetar, meskipun udara malam terasa begitu dingin.
Dari dalam rumah, ia mendengar suara itu lagi---kali ini, sangat jelas, berasal dari luar jendela yang terbuka sedikit. Sari mendekat, menahan napasnya. Sebuah bayangan hitam melintas di luar jendela, bergerak cepat dan hilang. Ketika Sari membuka jendela dengan hati-hati, tidak ada siapa pun di luar sana.