OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah desa terpencil, langit malam selalu lebih panjang dari siang. Cahaya matahari hanya datang sesekali, seringkali diselimuti awan tebal. Malam datang dengan cepat, mengurung setiap langkah dalam kegelapan yang menakutkan. Orang-orang hidup dalam ketakutan, takut akan dunia yang tidak tampak, takut pada kegelapan yang membungkus segala impian.
Namun, ada seorang pemuda bernama Lintang yang berbeda. Ia tidak takut pada kegelapan. Justru, ia percaya bahwa dengan memberi, dunia ini bisa lebih terang. Hanya saja, ia belum tahu bagaimana cara memberinya.
Suatu malam, angin membawa bisikan yang memanggil Lintang untuk mendaki bukit tua yang terlupakan. Di puncaknya terdapat sebuah kuil kuno yang menyimpan sebuah obor sakti---obor yang katanya dapat menerangi dunia yang gelap.
Sesampainya di sana, Lintang menemukan obor besar yang tampak seperti tidur dalam kegelapan. Obor itu seperti terbenam dalam waktu, berdebu dan terlupakan. Di dekatnya, obor kecil yang dibawa Lintang berkelip-kelip, hampir padam, namun tetap memiliki api harapan.
"Tantanganmu berat, pemuda," suara berat seorang lelaki tua terdengar. Dari balik bayangan, seorang penjaga kuil muncul. "Untuk menyalakan obor ini, kau harus memberi sesuatu yang sangat berharga."
Lintang mengangkat obor kecilnya dengan senyum penuh keyakinan. "Apa yang bisa lebih berharga daripada memberi terang bagi dunia ini?"
Penjaga kuil itu mengerutkan dahi, memandang Lintang dengan sinis. "Kau tidak punya apa-apa selain obor kecil ini. Apa yang bisa kauberikan? Harta? Kehormatan? Kau hanya seorang pemuda biasa."
Lintang menatap penjaga kuil dengan tenang, "Aku punya lebih dari harta atau kehormatan. Aku punya harapan."
Penjaga itu mendengus, "Harapan? Itu hanya cahaya dalam kegelapan. Tidak akan cukup untuk menyalakan obor ini."