Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. REDAKTUR Penerbit dan mitra jurnal ilmiah terakreditasi SINTA: Media Didaktik Indonesia [MDI]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hari Pilkadus dan Warung Rempah Rasa

28 November 2024   11:44 Diperbarui: 28 November 2024   11:48 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. dokpri-AI

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Pagi itu, Kampung Sindangjati terasa lengang. Tak ada gemuruh suara pengeras suara atau warga berkerumun. Pilkadus, meski penting, tetap tak seheboh Pilkada atau Pilpres. TPS yang mereka tuju hanya dihiasi beberapa kursi plastik dan petugas yang lebih sibuk memainkan ponsel daripada melayani pemilih.

"Nyoblos terus sarapan, yuk. Aku tahu tempat baru, katanya enak banget!" Rina mengajak Dinda sambil tersenyum.

"Di mana?" tanya Dinda, suaranya datar.

"Di arah Palasari. Namanya Warung Rempah Rasa. Menunya bikin ngiler," jawab Rina penuh semangat.

TPS sepi, hanya diisi beberapa warga tua yang sabar menunggu giliran. Dalam waktu kurang dari sepuluh menit, tinta ungu sudah menghiasi jari mereka.

"Beres!" ujar Rina sambil tertawa. "Ayo, waktunya makan."

Perjalanan menuju Warung Rempah Rasa terasa singkat. Tempat itu tampak sederhana namun menenangkan, dengan bangunan serba kayu dan aroma rempah yang menggoda. Di papan menu tertulis:

  • Zuppa Soup
  • Salad Solo
  • Nasi Liwet
  • Siomay
  • Bakso Goreng
  • Teh Sereh

Di bawahnya, sebuah catatan kecil menarik perhatian: Free Es Teler untuk pelanggan hari ini.

"Pilihan tepat, Rin," puji Dinda, akhirnya tersenyum.

Mereka memesan nasi liwet, bakso goreng, dan teh sereh. Pelayan, seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah, mencatat pesanan sambil sesekali merapikan selendang di bahunya.

Namun, ketenangan itu terusik. Seorang pria masuk dengan langkah mantap, tubuh kurus, wajah tirus, dan tas selempang besar menggantung di pundaknya. Matanya berkeliling, lalu langsung menuju meja kasir.

"Ini untuk Pak RT. Titip ya," katanya singkat, meletakkan amplop cokelat tebal.

Pelayan tampak bingung. "Apa ini, Mas?"

"Pesan penting. Jangan dibuka," pria itu menjawab, suaranya datar namun penuh tekanan.

Pelayan hanya mengangguk, wajahnya diliputi rasa takut.

Dinda dan Rina saling pandang. "Din, ini aneh banget," bisik Rina.

"Abaikan saja, Rin. Jangan ikut campur," jawab Dinda, meski perasaannya mulai tak enak.

Namun, pelayan yang penasaran akhirnya membuka amplop itu dengan tangan gemetar. Isinya membuatnya tertegun: setumpuk uang pecahan besar dan secarik kertas bertuliskan:
"Pak RT, ini bagian tambahan. Pastikan semua berjalan lancar. Jangan bocor."

Dinda tercekat. "Rin, kita pergi sekarang," bisiknya cepat.

Namun, suara motor mendadak meraung di luar. Dua pria berseragam polisi masuk dengan langkah cepat.

"Semua diam di tempat! Kami mendapat laporan adanya praktik suap di sini," ujar salah satu polisi dengan nada tegas.

Pelayan panik. "Saya... saya cuma dititipi!" katanya sambil menyerahkan amplop ke polisi.

Polisi membuka amplop itu dan menggelengkan kepala. "Bukti kuat. Di mana orang yang menitipkan ini?"

Pelayan tak mampu menjawab. Tapi tiba-tiba, pria tadi muncul kembali di pintu. Senyumannya kini dingin dan penuh arti.

"Bagus. Semua sesuai rencana," gumamnya pelan, cukup untuk membuat polisi meliriknya dengan curiga.

"Bapak ikut kami ke kantor," ujar polisi, menahan pria itu yang hanya tertawa kecil. Namun sebelum pergi, polisi menyelipkan selembar uang ke sakunya, lalu berbisik ke pelayan, "Jangan bilang ke siapa-siapa. Urusan selesai di sini."

Dinda dan Rina terpaku, tubuh mereka kaku. Mereka ingin berteriak, tapi apa gunanya?

"Din, kita pulang aja," suara Rina terdengar lirih.

Dinda melangkah keluar dengan pikiran kacau. Ia menatap tinta ungu di jarinya, seakan menilai ulang pilihannya pagi ini.

"Rin," gumamnya akhirnya, "Mungkin bukan mereka yang busuk. Tapi kita yang terlalu bodoh untuk terus percaya."

Rina hanya menatap kosong, langkah mereka menjauh dari warung yang kini sepintas menjadi saksi intrik busuk yang sulit dimengerti.

"Entahlah.  Biar nggak terlalu kepikiran, aku pilih pada posisi praduga tak bersalah aja, Rin," pungkas Dinda.

Tamat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun