OLEH: Khoeri Abdul Muid
Andi duduk sendirian di pojok kafe, tatapannya kosong menembus jendela kaca yang mulai kusam. Di luar, hujan rintik turun, menciptakan irama yang tidak bisa menenangkan pikirannya. Kopi di depannya hampir habis, namun pikirannya terjerat jauh dari secangkir minuman itu.
Tadi pagi, ia menerima pesan dari Adit, sahabatnya yang telah lama terdiam. "Kita butuh bicara, Andi. Segera."
Tiga hari berlalu, dan Andi tidak bisa membawa dirinya untuk merespons. Hatinya dipenuhi penyesalan, mengenang kata-kata yang tak bisa kembali. "Kenapa aku selalu menunggu waktu yang tepat?" bisiknya pada diri sendiri. "Kenapa tidak sekarang?"
Adit dan Andi selalu lebih dari sekadar sahabat. Mereka seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Namun satu kejadian---sebuah percakapan panas yang terjadi setahun lalu---merusak segalanya. Andi ingat jelas, bagaimana kata-kata kasar terlontar begitu saja dalam ledakan emosi yang tak terkendali. "Aku cuma marah, tidak bermaksud menyakitinya," Andi bergumam, meski hatinya tahu itu bukan alasan yang cukup.
Adit tak langsung membalas kata-kata pedas Andi, tapi keduanya merasa ada jarak yang tercipta. Andi berharap waktu bisa menyembuhkan luka. Namun, semakin lama ia menunggu, semakin dalam rasa bersalah itu menggigit hatinya. Setiap kali mengingat Adit, hatinya terasa terhimpit, seperti menanggung beban yang tak bisa lepas.
Hari itu, Andi akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan Adit. Mereka sepakat di kafe yang biasa mereka kunjungi. Ketika Andi tiba, Adit sudah duduk di sana, wajahnya yang dulu penuh tawa kini tampak serius, ada gurat kesedihan yang sulit disembunyikan.
Andi merasa jantungnya berdebar kencang, langkahnya terasa berat. "Adit..." suaranya tercekat. Ia ingin berkata lebih banyak, tapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya.
Adit menatapnya dengan pandangan yang dalam, tidak berbicara seketika. Diamnya sudah cukup menyakitkan.
"Apa yang terjadi, Adit? Kenapa kita bisa sampai di sini?" tanya Andi, mencoba membuka percakapan.