Adit menghela napas, suaranya tenang, tapi penuh makna. "Andi, kau tahu kenapa aku marah, kan?" tanya Adit pelan.
Andi terdiam, menunduk. "Aku tahu," jawabnya akhirnya. "Aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku hanya... aku marah waktu itu."
Adit menatap sahabatnya, bukan dengan kemarahan, melainkan dengan sebuah kelelahan yang mendalam. "Kenapa kau selalu menunggu waktu yang tepat untuk mengakui kesalahanmu, Andi? Aku sudah menunggu... menunggu permintaan maaf yang datang terlambat," katanya, suaranya mulai pecah.
"Adit, aku tidak tahu apa yang harus aku katakan lagi..." Andi berkata, suaranya mulai goyah. "Aku... aku merasa sangat buruk, sangat menyesal."
Adit menggelengkan kepala, matanya tertutup sejenak. "Tapi itu sudah tidak penting, Andi. Semua itu sudah berlalu. Yang aku sesali bukan kata-katamu, tapi kenyataan bahwa kita terlalu lama menunda segala hal yang penting. Aku sudah lama memaafkanmu, tapi aku tidak tahu kapan kita akan kembali seperti dulu."
Andi terdiam. Hatinya terasa sesak, sebuah rasa yang sulit dijelaskan. "Lalu... apa yang harus aku lakukan, Adit? Aku ingin semuanya kembali seperti semula," Andi memohon.
"Tidak ada yang bisa mengembalikan waktu, Andi," jawab Adit tegas. "Aku... aku sudah mencoba, tapi aku hanya bertanya pada diriku sendiri, apakah kita berdua masih sama? Apakah kita masih bisa saling menghargai, seperti dulu?"
Andi merasa seolah seluruh dunianya runtuh. "Jadi ini berakhir begitu saja? Setelah semua yang kita lewati, kita berakhir seperti ini?" suaranya mulai pecah. "Aku tidak bisa menerima itu, Adit."
Adit tersenyum miris, mata itu menatap Andi dengan kedalaman yang luar biasa. "Kadang kita harus merelakan sesuatu yang kita cintai agar kita bisa tumbuh menjadi lebih baik. Tapi aku yakin, Andi, kamu akan mengerti... bahwa kita harus menghargai waktu. Jangan menunggu-nunggu lagi."
Andi membuka mulut untuk berkata sesuatu, namun Adit sudah berdiri, siap untuk pergi. "Aku akan pergi sekarang, Andi," kata Adit, suara berat dan penuh makna. "Semoga kamu menemukan kedamaian dalam penyesalanmu."
Tanpa menunggu jawaban, Adit meninggalkan Andi yang terdiam di meja. Andi mencoba mengejarnya, tetapi tubuhnya terasa seperti beban yang terlalu berat untuk digerakkan.