OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di lembah pegunungan yang diselimuti kabut abadi, seorang pemuda bernama Jaka dikenal karena kecerdasannya dan keberanian mengambil keputusan. Namun, di balik karisma itu, tersembunyi sebuah rahasia kelam. Setiap malam, Jaka mengunci diri di kamar kecilnya, berhadapan dengan sebuah cermin tua yang diwariskan keluarganya. Cermin itu, menurut legenda, mampu memantulkan kebenaran hati yang paling dalam.
Suatu pagi, desa Jaka diguncang kabar buruk. Ratih, gadis yang menjadi suara nurani desa, datang dengan wajah panik.
"Jaka, desa tetangga menuduh kita mencuri panen mereka! Mereka menuntut kompensasi, atau desa ini akan diserang!" katanya terburu-buru.
Jaka menatap Ratih, lalu menunduk merenung. "Aku akan memikirkan cara terbaik untuk menyelesaikan ini."
Ratih mendesak. "Ini bukan soal berpikir, Jaka. Ini soal bertindak. Kau selalu percaya pada kekuatan logika, tapi dunia tak sesederhana itu."
Namun Jaka mengabaikan desakan itu. Ia masuk ke kamar belakangnya dan berdiri di depan cermin tua. Kali ini, ia memohon jawabannya.
"Cermin, tunjukkan aku kebenaran. Bagaimana aku menyelamatkan desa ini?"
Bayangan di cermin mulai bergeser, dan wajah seorang pria tua berjanggut putih muncul. Suaranya berat, menggema di ruangan kecil itu.
"Jaka, pikiranmu bagaikan cermin. Ia memantulkan apa yang ada di depanmu, tapi debu keserakahanmu telah menutupi semua kebenaran."