OLEH: Khoeri Abdul Muid
Arief duduk terdiam di bangku kayu yang sudah usang di teras rumah kecilnya. Sepanjang hidupnya, dia selalu merasa bahwa dunia ini adalah miliknya. Dulu, ketika karirnya sedang gemilang, dia tak pernah merasa takut untuk melangkah. Namun kini, setelah kejatuhan yang menghantamnya, Arief tak bisa lagi mengabaikan waktu yang terasa begitu cepat berlalu tanpa arti.
"Arief, kenapa kamu masih di sini? Kamu bisa bangkit lagi. Jangan biarkan waktu terus melayang sia-sia," suara Lilis, sahabat lama yang tiba-tiba muncul di hadapannya, memecah kesunyian. Lilis selalu hadir saat Arief terpuruk, tak peduli seberapa banyak waktu berlalu.
Arief menoleh dengan tatapan kosong, "Lilis, kau masih mau berteman denganku setelah semua yang terjadi? Aku sudah tak punya apa-apa lagi."
Lilis tersenyum lembut, meski matanya penuh keprihatinan. "Kamu masih punya waktu, Arief. Waktu yang lebih berharga dari segalanya."
Waktu terasa berat. Semua yang Arief lakukan dulu, yang sempat membuatnya merasa menjadi raja di dunia ini, kini terasa hampa. Kejayaan, kekuasaan, uang, semua itu tampak begitu mudah datang, tetapi sangat sulit pergi. Namun yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa Arief tak tahu siapa yang benar-benar peduli padanya, siapa yang benar-benar ada untuknya.
Beberapa hari yang lalu, Arief baru saja bertemu Dika---teman seprofesinya yang dulu selalu ada di sampingnya. Waktu itu, mereka berdua berdiri di atas dunia, berbisnis, menikmati segalanya. Namun, ketika Arief terjatuh, Dika justru tak lagi menjawab panggilan teleponnya.
"Kamu tahu apa yang Dika katakan waktu aku minta tolong padanya? 'Jangan harap aku bantu, Arief. Kita semua sudah tahu kamu hanya setengah jalan dari kegagalan. Jangan cari-cari alasan!'" kata Arief, suaranya gemetar, seperti menyimpan kemarahan dan penyesalan yang mendalam.
Lilis menatap Arief, namun kali ini ada kesedihan di matanya. "Waktu yang salah, Arief. Tapi kau tahu, itu adalah bagian dari pelajaran hidup. Ketika kita merasa di atas, kita lupa siapa yang benar-benar peduli. Tetapi saat kita jatuh, baru kita tahu siapa yang tulus, siapa yang hanya datang ketika semuanya baik-baik saja."
Arief mengangguk pelan. "Aku selalu merasa punya kontrol atas hidup ini. Semua yang aku miliki dulu... semua kesuksesan itu... Aku merasa dunia ini milikku. Tapi ternyata, semua itu sangat rapuh."
Lilis meraih tangan Arief, menggenggamnya dengan lembut. "Kamu harus ingat satu hal, Arief. Waktu tak bisa diputar kembali. Ketika kamu terjatuh, mungkin kau akan merasa dunia ini begitu gelap. Namun, itu bukan akhir. Waktu yang kamu miliki sekarang adalah kesempatanmu untuk berubah, untuk bangkit. Kamu masih punya kesempatan untuk memperbaiki segalanya."