Namun, di salah satu TPS, seorang pria tua bernama Pak Jaka kebingungan. Ia memandangi kertas suara di tangannya sambil mengingat amplop berisi uang yang diterima pagi tadi dari tim lawan.
"Sudah tua begini, untuk apa repot-repot mikir moral?" gumamnya sambil melangkah menuju kotak suara.
Tiba-tiba, suara bocah kecil menghentikannya. "Kakek, pilih yang jujur ya. Kata ibu, orang jujur itu bikin kita nggak malu sama Tuhan."
Pak Jaka tertegun. Bocah itu tidak tahu betapa dalam ucapannya menghantam hati. Dengan tangan bergetar, ia membuka kembali kertas suara, lalu melingkari nama Pak Ari.
Malam itu, hasil pemilu diumumkan. Pak Ari kalah tipis.
Di ruang tamunya, keluarga Pak Ari berkumpul dalam keheningan. Wajah Riko tampak muram, sementara Pak Ari terlihat tenang, meski lelah.
"Maaf, Ayah," kata Riko akhirnya. "Aku salah. Ayah benar, apa yang kita tabur, itulah yang kita tuai."
Pak Ari menepuk bahu putranya. "Kita kalah angka, Nak. Tapi kita menang harga diri. Itu yang lebih penting."
Tiba-tiba, Bu Ningsih masuk dengan wajah panik. "Pak, berita besar! Lawan kita ditangkap KPK. Mereka ketahuan menyuap panitia pemilu!"
Semua orang tercengang.
Pak Ari hanya tersenyum kecil, lalu berdiri dan melangkah ke kamar kerjanya. Di sana, ia membuka laci meja dan mengambil secarik kertas. Surat pengunduran diri dari dunia politik.