OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah kota kecil, pemilihan kepala daerah sedang mendekati puncaknya. Suasana begitu tegang. Dua kandidat bersaing sengit, masing-masing membawa janji besar. Di tengah persaingan itu, Pak Ari, kandidat dengan reputasi bersih, dihadapkan pada dilema besar.
"Pak Ari, kalau kita terus begini, habislah kita!" Suara Bu Ningsih, manajer tim sukses, terdengar tegas. Ia melemparkan laporan hasil survei ke meja. "Lawan sudah bermain amplop di semua titik. Kita? Hanya janji moral dan program panjang. Tidak cukup, Pak!"
Pak Ari, mengenakan batik sederhana, tetap tenang. "Ningsih, kalau kita ikut-ikutan, apa bedanya kita dengan mereka?"
"Pak, ini bukan soal beda atau sama! Ini soal menang atau kalah!" Ningsih mendekat, menatapnya tajam. "Bapak tahu sendiri, kalau kalah, program perubahan Bapak hanya akan jadi mimpi. Rakyat butuh aksi, bukan idealisme kosong!"
Pak Ari tersenyum tipis, lalu memandang ke arah Riko, putra sulungnya, yang sejak tadi diam di sudut ruangan. "Riko, menurutmu bagaimana?"
Riko berdiri, menatap ayahnya dengan wajah yang penuh konflik. "Ayah, aku menghormati prinsip Ayah. Tapi... Bu Ningsih benar. Apa gunanya kebenaran kalau tidak pernah sampai ke tangan rakyat?"
Pak Ari terdiam. Kata-kata Riko menusuk hatinya. Ia tahu Riko bukan sekadar anak muda idealis; ia adalah cerminan kekhawatiran rakyat yang sebenarnya.
"Tapi kalau aku menang dengan cara kotor, Riko," kata Pak Ari akhirnya, suaranya lirih tapi tegas, "apa yang akan kupelajari darinya? Bahwa tujuan bisa menghalalkan cara?"
Riko menghela napas, lalu melangkah keluar ruangan. Di balik pintu, ia mengepalkan tangan, matanya berkilat penuh frustrasi.
Hari pemilu tiba. TPS di seluruh kota dipenuhi warga yang antusias, meski aroma politik uang terasa di mana-mana. Pak Ari tetap tenang, percaya pada kejujuran perjuangannya.