Beberapa minggu kemudian, Lila mendaftar di sebuah universitas di kota. Ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan, dan dengan hati-hati, ia mengungkapkannya kepada ayahnya.
"Ayah, aku diterima di universitas! Aku bisa belajar di kota!" Lila tidak sabar untuk melihat reaksi Pak Rauf.
Pak Rauf terdiam lama. Matanya menatap jauh ke luar jendela. Hujan yang turun sudah reda, dan langit tampak cerah. "Aku sudah bilang, itu hanya mimpi, Lila." Suara Pak Rauf terputus, namun kali ini, ada kepedihan yang lebih dalam.
Lila menunduk. Ia tahu bahwa impian ini adalah pertarungan besar yang tidak mudah dimenangkan. Namun, ia tidak bisa berhenti.
"Lila," Pak Rauf akhirnya berkata pelan, "jangan pergi... Aku takut kamu akan terluka. Aku tidak ingin kehilanganmu."
Air mata Lila kembali jatuh. Ia mendekat dan memegang tangan ayahnya, tangannya yang sudah keriput oleh kerja keras. "Ayah, aku akan kembali. Aku janji. Aku tidak akan melupakan kalian."
Pak Rauf menatapnya dengan tatapan penuh kekhawatiran. "Aku hanya ingin yang terbaik untukmu, Lila. Tapi... aku tidak tahu apakah dunia luar itu baik untukmu."
Tahun-tahun berlalu. Lila sukses menyelesaikan pendidikannya, meskipun tidak mudah. Ia bekerja keras, mengorbankan banyak hal untuk mencapai mimpinya. Di sisi lain, Pak Rauf tetap di desa, menjaga sawah dan hidup dengan rutinitas yang sama. Meski diam-diam, ia bangga pada putrinya, tetapi rasa takut dan cemas tetap membelenggu hatinya.
Suatu hari, Lila kembali ke desa setelah lulus. Ia membawa kabar baik: Ia mendapatkan pekerjaan di sebuah lembaga yang membantu petani di daerahnya. Ia ingin mengubah kehidupan mereka dengan ilmu yang ia peroleh.
Namun, hari itu, hujan deras kembali turun, lebih deras dari sebelumnya. Ketika Lila berjalan pulang, tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Rasa sakit yang tidak bisa dijelaskan. Ia berlari pulang dengan napas terengah-engah.
Pak Rauf melihat Lila dengan cemas. "Lila, ada apa?"