Dika, si penasaran abadi, langsung melangkah mendekat. "Kayaknya tombolnya nyangkut, deh." Dia menekan-nekan tombol dengan semangat, hingga---POF!---semburan bubuk kopi memenuhi ruangan. Wajah Dika langsung belepotan cokelat.
Hening sesaat. Lalu aula meledak oleh tawa.
"Dika, kamu kayak kue brownies setengah jadi!" teriak Nona sambil terbahak, memegangi perutnya.
"Ini sih bukan Civic Hukum lagi, tapi reality show!" celetuk Riko yang tak lupa merekam insiden itu.
Tapi Dika malah tertawa paling keras. "Yaudah, yaudah. Demi kebahagiaan bersama. Tapi kalau videonya sampai ke ibu saya, siap-siap ya, kalian!"
Tawa mereka belum selesai ketika suara pelan terdengar dari mesin kopi. Dika melihat sesuatu jatuh di dekat kakinya---amplop kecil berwarna putih. "Eh, ini apa?" gumamnya sambil membukanya.
Di dalamnya ada secarik kertas dengan tulisan tangan:
"Untuk mahasiswa Civic Hukum. Selamat menikmati hari terakhir semester ini. Teruslah semangat belajar dan jaga kebersamaan kalian, karena di sinilah cerita indah bermula."
Mereka saling pandang. Pak Heru mendekat, mengambil kertas itu dan tersenyum. "Ternyata ini hadiah kecil dari fakultas. Mereka sengaja memasukkan ini di mesin kopi sebagai kejutan."
Maya memeluk Nona tiba-tiba. "Aku jadi terharu, lho! Semester depan kita bakal sibuk banget, nih. Masih bisa kayak gini nggak ya?"
Pak Heru, dengan suara bijaknya, menambahkan, "Justru momen seperti ini yang harus kalian simpan. Nilai bisa hilang di kertas, tapi kebersamaan ini abadi di hati."