OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah desa yang terletak di kaki gunung, ada sebuah balai pertemuan yang selalu dipenuhi warga setiap kali pertemuan diadakan. Desa itu tidak besar, namun penuh dengan tantangan. Pemimpinnya, Mas Sulistya, seorang pria muda yang baru saja terpilih, selalu terjaga oleh satu pertanyaan besar: "Apakah saya cukup welas asih untuk memimpin mereka?"
Hari itu, pertemuan kembali digelar dengan urgensi yang tinggi. Tanah pertanian yang semakin tandus dan kesulitan ekonomi yang mendera semakin mempersulit kehidupan warga. Warga ingin perubahan, tetapi mereka juga butuh pemimpin yang bisa merasakan beban mereka, bukan hanya memikirkan angka dan solusi yang tampak sederhana.
"Mas Sulistya," suara seorang lelaki tua, Pak Suro, memecah keheningan. "Kami butuh solusi nyata. Jangan hanya berjanji manis, kami sudah lelah dengan itu. Kami butuh pemimpin yang tahu bagaimana rasanya hidup kekurangan. Bisa enggak, Mas?"
Mas Sulistya mengangguk pelan, matanya berkilat, penuh tekad. "Saya tahu, Pak Suro. Dan saya ingin memimpin dengan hati, bukan hanya akal. Tapi saya butuh ide-ide kalian. Kita harus bekerja sama."
Diskusi pun berlangsung hangat, tetapi tiba-tiba, seorang gadis muda, Rina, yang sejak tadi diam, tiba-tiba angkat bicara. "Mas Sulistya, saya sering mendengar orang tua saya bercerita tentang pemimpin zaman dulu. Mereka memimpin dengan hati, bukan dengan kekuatan. Mereka selalu mengutamakan rakyat, berusaha merasakan apa yang kami rasakan. Mas, apa Mas bisa jadi pemimpin seperti itu?"
Mas Sulistya tersenyum tipis, melihat wajah-wajah yang penuh harap. "Welas asih... Dalam dunia pewayangan, kita diajarkan bahwa pemimpin sejati adalah yang tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tetapi juga orang-orang yang dipimpinnya. 'Ber budi bowo leksono,' 'asih mring sesomo.' Itu bukan hanya kata-kata, tetapi prinsip hidup," jawabnya, dengan suara yang tenang namun penuh kekuatan.
Pak Suro menambahkan, "Itulah yang kami inginkan, Mas. Pemimpin yang tidak hanya pintar, tetapi yang bisa merasakan penderitaan kami, yang bisa berbagi beban."
Mas Sulistya menatap semua yang hadir dengan mata yang semakin berbinar. Ia tahu ini bukan hanya tentang ide atau harapan, ini tentang tindakan nyata. "Jika saya memimpin, saya akan selalu mengutamakan hati. Tidak hanya sebagai kata-kata kosong. Kita akan bekerja bersama-sama. Tidak ada janji tanpa bukti," katanya.
Namun, tak lama setelah pertemuan itu, masalah datang seperti badai. Seorang pengusaha besar dari luar desa berniat membeli tanah pertanian warga untuk membangun pabrik. Ini akan memberi banyak uang, tetapi juga akan merusak ekosistem desa. Warga terpecah: sebagian ingin menerima tawaran itu demi uang cepat, sebagian menolak karena takut tanah mereka akan hilang.